Selasa, 14 Agustus 2007

Kontraproduktif Tengkar Elite Politik

Pertengkaran antarelite politik cukup serius kembali terjadi. Beberapa waktu lalu Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertengkar soal aliran dana yang masuk ke rekening tim kampanye calon presiden pada pemilu 2004. Kini Zaenal Ma’arif bertengkar dengan Presiden Yudhoyono. Zaenal diduga merasa “sakit hati” karena menganggap recall terhadap dirinya sengaja dilakukan melalui konspirasi politik.
Apa pun alasannya, rakyat kembali disuguhi pagelaran panggung politik yang tidak sehat dan kurang edukatif. Karena, lagi-lagi, motif pertengkaran tidak jauh dari arena politik penuh aura “kecurigaan.” Masa lalu pun, benar atau tidak, diungkit-ungkit membuat geram pihak yang ditohok. Yang ditohok pun, dengan geram menempuh jalur hukum guna menyelesaikan permasalahan ini karena menganggap telah difitnah dan dijatuhkan melalui black campaigne.
Pertengkaran antarelite politik, di dunia perpolitikan praktis, rawan terjadi. Substansi sesungguhnya tidak jauh-jauh dari bagaimana mempertahankan diri dan menjatuhkan orang lain.
Itulah kemenangan politik. Yang kalah sering kali akan berusaha, dengan sekuat tenaga, membalas “sakit hatinya” karena kekalahan itu. Tidak hanya dalam konteks Indonesia, hal ini umum terjadi di negara-negara yang demokrasinya masih labil. Bagi negara yang demokrasinya cukup matang seperti Amerika Serikat, kekalahan politik kerap kali disikapi secara legawa.
Pertengkaran elite politik memang sedikit banyak secara langsung tidak berdampak bagi rakyat. Apalagi, ketika rakyat sudah terbiasa dengan pertengkaran demi pertengkaran karena masalah yang dilihat sebagai masalah bermotif politik. Pertengkaran itu justru kian memantapkan keyakinan rakyat, politik praktis hanya alat untuk meraup keuntungan sendiri dengan memanfaatkan suara rakyat. Ketika kemenangan diraih, rakyat dilupakan dan diabaikan. Tidak mengherankan bila tingkat kepercayaan rakyat pada elite politik cenderung menurun.
Segala bentuk pertikaian, apa pun motifnya, hakikatnya lahir oleh karena satu pihak tidak menganggap pihak lain sebagai kawan tetapi sebagai lawan. Atau, mengganggap sebagai kawan hanya ketika itu menguntungkan kepentingannya. Di dalam kamus politik ada adagium bahwa tidak ada kawan yang abadi, tetapi kepentingan yang abadi. Saat kepentingan politik satu pihak terancam, mau tidak mau pengancam harus disingkirkan.
Pertanyaannya, tidak adakah ruang moral di dalam politik ketika politik lebih mengedepankan cara-cara yang dinilai tidak sehat? Jika kepentingan yang menjadi roh politik, jelas, politik kerap kali menjadi sekadar permainan, bukan alat untuk mencapai tujuan dalam spektrum yang lebih luas, yakni bagaimana memikirkan kemaslahatan orang banyak. Dalam perspektif tersebut, segala macam pertikaian politik, hanya karena masalah sepele (namun sengaja dibesar-besarkan karena itu menyangkut orang besar), sudah saatnya diminimalkan.
Pertikaian hanya melahirkan dampak buruk dalam spektrum kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas, sekaligus mendidik politik bangsa ke depan secara tidak sehat. Jika ini terus terjadi, politik kita tidak akan menuju tahap kedewasaan. Bahkan, lebih berbahaya lagi, jatuh menurun menjadi politik kekanak-kanakan.

Kontrol rakyat
Saat elite politik kerap kali bertengkar saling tuding dan tuduh demi menyelamatkan kepentingan sendiri, rakyat harus terus-menerus mengontrol. Rakyat pemegang daulat tertinggi di negeri demokrasi. Dan, rakyat pula yang seharusnya “menghakimi” para elite itu dengan, antara lain, tidak memilih mereka lagi. Rakyat tidak boleh terjatuh ke lubang yang sama karena memilih elite yang tujuannya hanya untuk kekuasaan.
Rakyat harus menunjukkan mereka tidak bisa dipermainkan dengan suguhan dagelan-dagelan politik elite-elite yang tidak produktif. Sehingga, dengan itu, para elite di kemudian hari akan lebih waspada, dan hati-hati. Mereka akan lebih memikirkan kepentingan yang lebih besar daripada sekadar mengurusi sesuatu yang dimata publik sudah dipahami sebagai politik “balas dendam.” Atau, dipahami sebagai politik egoisme kepentingan diri dan kelompoknya, walaupun itu harus menyakiti dan menelantarkan rakyat.
Elite politik adalah orang-orang pilihan rakyat yang diserahi tugas penting mewujudkan harapan rakyat. Tetapi, sayang, kerap kali, tugas penting itu, entah sengaja atau tidak, ditempatkan di nomor urut kesekian. Mereka lebih menguras dan memeras otak untuk kepentingan diri dan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat.
Akibatnya, tidak hanya agenda yang lebih urgen terbengkalai, masa bakti para elite politik hanya diisi dengan aneka ragam sajian yang justru kontraproduktif. Menjadi mudah dipahami jika kemudian target-target para elite sering tidak tercapai. Karut-marut alam perpolitikan kita memang masih menjadi menu utama. Itu membuat demokrasi kita berjalan tertatih, kalau tidak malah begitu renta, padahal umur masih terbilang remaja.

Media Indonesia, Rabu 1 Agustus 2007

Tidak ada komentar: