Sabtu, 18 Agustus 2007

Reshuffle dan Keberanian SBY

Di tahun ketiga pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Muhammad Jusuf Kalla (JK) ini, isu reshuffle kabinet kembali menghangat. Isu yang tidak hanya diwacanakan para analis, pengamat politik dan politisi partai, tetapi juga oleh publik. Terutama publik yang merasakan betul bagaimana kinerja dan kerja konkret pemerintahan saat ini yang belum maksimal.
Pertanyaan yang selalu muncul atas isu reshuffle kabinet seperti tahun lalu, apakah Presiden benar-benar akan melakukan reshuffle kabinet? Kenapa reshuffle perlu dilakukan saat ini? Tak kalah penting dari itu semua, beranikah Presiden mereshuffle sebagian dari jajaran kabinetnya?
Di tengah kekecewaan sebagian besar masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini -- yang dirasakan bekerja terlalu lambat dan terkesan tanpa arah tujuan yang jelas dan terukur-- pemerintah mesti berpikir kembali perlunya reshuffle kabinet. Ritual tahunan reshuffle perlu dibudayakan, terkait dengan perbaikan dan kemajuan Indonesia di masa depan.
Setidaknya, ada tiga argumentasi buat presiden untuk segera mereshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Pertama, reshuffle kabinet sudah menjadi komitmen dan keputusan final Presiden, setelah evaluasi tahunan atas kinerja kabinetnya.
Tercatat, baru sekali presiden me-reshuffle kabinetnya. Itu sebetulnya sudah menunjukkan komitmennya. Meski, tentu saja, reshuffle yang dilakukan saat itu masih belum bisa “memuaskan” rakyat. Dan, komitmen semacam itu, harus ditagih secara terus-menerus.
Kedua, Presiden memiliki hak prerogatif mutlak untuk menentukan orang-orang untuk menjadi menteri di kabinetnya. Sekaligus hak prerogatif untuk memberhentikan, mengganti, atau merotasi mereka.
Adanya hak seperti itu seharusnya membuat Presiden leluasa memilih dan menentukan orang-orang yang dirasa lebih baik dari orang-orang sebelumnya.
Ketiga, Presiden adalah penjelmaan dari rakyat, karena ia dipilih langsung oleh rakyat. Suara Presiden hakikatnya, adalah suara rakyat. Presiden adalah representasi kekuatan rakyat yang mesti menyadari bahwa ia adalah rakyat.
Kesadaran itu akan memberi kekuatan tersendiri pada Presiden untuk tidak takut dalam melakukan langkah-langkah yang mungkin terasa pahit dirasakan oleh orang-orang yang kemudian di-reshuffle.
Presiden juga tidak perlu takut oleh adanya tekanan partai-partai politik. Karena, meski dicalonkan oleh partai politik, Presiden adalah pilihan rakyat, bukan pilihan partai. Kemenangan presiden bukan kemenangan partai, tetapi kemenangan rakyat. Ini seharusnya semakin membuat Presiden berani melakukan reshuffle.
Di atas semua itu, secara kasat mata, rakyat telah melihat dan merasakan langsung akibat kinerja yang belum memuaskan dari pemerintah (yang tentunya meliputi pula para menteri) saat ini. Rakyat sudah memiliki penilaian. Beberapa survei yang dilakukan menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dinilai publik memang masih belum memuaskan.
Tanpa perlu mendebat hasil survei yang cukup objektif itu pemerintah mesti legowo dan membuka mata lebar-lebar. Penyebab belum memuaskannya kinerja muncul dari kebijakan kabinet yang juga tidak memuaskan.
Presiden memang sudah menyatakan akan melakukan reshuffle awal Mei nanti. Jajaran kementerian yang mengurusi masalah ekonomi dan transportasi serta keagamaan, paling santer disorot oleh para pengamat sebagai pihak yang akan direshuffle. Selain pihak lain seperti kementerian yang mengurusi masalah kesejahteraan rakyat dan perumahan.
Ketika reshuffle belum dinyatakan secara resmi oleh Presiden tentu saja menimbulkan sejumlah kekhawatiran dan tanda tanya, di samping ketidakpastian para menteri yang bekerja. Akankah kali ini reshuffle tidak jadi dilakukan? Semoga saja benar-benar terjadi awal Mei ini.
Di sinilah, kita tidak hanya menunggu tetapi juga “menantang” keberanian Presiden agar tetap me-reshuffle beberapa menteri yang “kurang memuaskan.”
Adanya reshuffle, selain membuktikan keberanian Presiden dalam mengambil inisiatif yang lebih baik, juga akan ikut memengaruhi popularitas atau tidaknya kinerja pemerintahan “Indonesia Bersatu” di masa depan, khususnya hingga 2009.
Setidaknya, upaya yang harus dilakukan pemerintah di masa depan adalah tidak mengumbar janji-janji dan retorika-retorika yang justru menambah panjang daftar kekecewaan rakyat. Semua ada di tangan Anda, Pak Presiden!***

Suara Karya, Selasa 24 April 2007

Tidak ada komentar: