Selasa, 21 Agustus 2007

Tantangan Terhadap Penalaran Atas Agama

Agama sejati pada hakikatnya adalah agama yang mampu memberikan ruang kedamaian batin bagi umat manusia penganutnya, dalam rangka menghadapi problem hidup dan kehidupannya sehingga tercipta satu tatanan perikehidupan yang harmonis, aman, tenteram, dan sejahtera.
Agama akan semakin “diburu” orang, ketika ia dihadirkan dalam ranah kemanusiaan secara lebih elegan, ramah, akrab, dan “membumi.” Karena itu, upaya menafsirkan agama menjadi bagian urgen guna mewujudkan cita-cita kemanusiaan universal di atas. Agama dengan demikian mesti “rela” ditempatkan pada arena perhelatan wacana tanpa henti guna mewujudkan satu tujuan hakiki, tidak saja untuk saat ini, tetapi juga untuk masa nanti.
Di era multikulturalisme seperti saat sekarang ini, agama berhadapan dengan kenyataan yang mengharuskannya berdiri pada satu di antara dua pilihan. Pertama, agama sebagai aktor “penyelamat,” di satu sisi. Dan, kedua, menjadi aktor “penyengat.” Agama pada posisi ini akhirnya dihadapkan pada dua kenyataan sekaligus yang cukup menantang. Agama akan makin “dilanggengkan” oleh para pengikutnya, ataukah akan menemui ajal kematiannya di ujung “pedang-pedang pemberontak” agama yang tajam tak terkira.
Karena itu, upaya merumuskan kembali tafsir agama untuk saat ini dan masa depan nanti, menjadi kemestian yang tak bisa ditawar lagi. Agama sudah saatnya meninggalkan area tradisionalis dan primitifnya, karena hanya akan melahirkan penafsiran yang konservatif dan jumud. Agama sudah saatnya diwujudkan dalam bentuk apresiasi aktif umat manusia untuk menatap dan merumuskan kembali masa depannya sendiri.
Agama—meminjam istilah Hassan Hanafi—harus menjadi ide revolusi besar-besaran terhadap pola-pola hidup tradisionalis yang anti kemajuan dan modernitas. Atau menjadi ideologi pergerakan umat manusia—meminjam istilah Sayyid Quthb—yang mampu memberikan sumbangsih positif bagi peradaban umat manusia, tanpa kehilangan semangat dasar agama (baca: keimanan) sebagai teologi pembebasan dari keterkungkungan.
Sehingga, agama pada gilirannya akan makin terus memainkan peranannya yang ekstra aktif dan tetap mengisi setiap lingkup sejarah perjalanan hidup umat manusia di dunia. Ia akan mampu menumbuhkembangkan ide progresif sekaligus spirit bagi setiap gerak hidup manusia, yang pada akhirnya akan mengantarkan mereka pada satu titik persamaan visi dan misi untuk menjadikan dunia sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya daya kreativitas pemikiran guna mewujudkan cita-cita kemanusiaan bersama, tanpa dihalangi oleh sekat-sekat perbedaan agama.
Apakah dengan demikian, sebuah penafsiran meniscayakan kebersatuan antar agama yang ada saat ini, sebagai landasan tunggal? Ataukah mencoba format baru dalam penafsiran agama yang bisa diakses dan dipraktikkan secara seragam oleh kalangan agama mana pun, misalnya? Atau, justru mengupayakan satu bentuk reinterpretasi terhadap agama yang telah ada, dengan sesuatu yang sesuai dengan kondisi ril kehidupan umat manusia saat ini?
Pertanyaan ini makin menjadi urgen dikemukakan dengan alasan bahwa sebetulnya cukup riskan membuat satu model agama baru, pada saat yang sama, agama-agama yang ada saat ini telah lama bertahan dan mengkristal, juga sudah teruji mapan dengan kuantitas pengikutnya, sehingga menjadi kekuatan tak terbendung.
Ada beberapa tantangan baru yang dapat menjadi penghalang bagi terwujudnya format penafsiran baru terhadap agama. Pertama, ketakutan akan perubahan. Perubahan seolah-olah identik dengan penyelewengan yang mesti diantisipasi, sekaligus dicari klaim-klaim “seram” agar orang merasa takut dengan perubahan itu.
Untuk mengantisipasi hal ini, penafsiran agama mesti menjelaskan dengan jujur bahwa ia pada hakikatnya adalah upaya membuat agama lebih hidup dan membumi. Penafsiran agama-agama secara tradisional tetap dijadikan bahan pertimbangan, untuk merumuskan penafsiran agama. Dengan demikian, ada fondasi rumusan yang jelas bisa mengikat keduanya, tanpa perlu mengorbankan salah satunya.
Kedua, keterlibatan kekuatan elit agamawan yang sudah legal mapan menjadi satu kekuatan besar dan—seakan—sudah diplot sebagai “yang paling” autoritatif. Kalangan ini tidak saja membuat satu penafsiran, tapi juga mencoba mencekokkan ide-idenya untuk dan demi kepentingan kalangan-kalangan elit penguasa tertentu.
Kalangan seperti ini biasanya memiliki akses yang luar biasa rekatnya dengan kekuatan-kekuatan politik. Dalam sejarah Islam, misalnya, tercatat bahwa ide-ide elit agamawan terkadang mesti mendapat “restu” kekuasaan, atau mereka balik dipesan untuk membuat satu aturan demi menahbiskan, sekaligus melanggengkan kekuasannya, dengan menekan pihak-pihak yang akan menghancurkan reputasi kekuasaannya.
Maka tidak aneh, berbagai macam mazhab pemikiran mesti menyesuaikan dengan kekuasaan politik. Agama dalam tataran ini akhirnya menjadi hanya ide-ide kaum penjilat yang merengkuh setetes keuntungan pribadi, demi ambisi nafsu yang tak terperi. Hanya karena perbedaan pendapat, seorang pemikir harus menghadapi tiang gantungan, atau merenggang nyawa dalam kobaran api, sebagai azabnya.
Wajah penafsiran seperti ini tentu tidak ramah dan tidak bisa dipakai dalam penafsiran agama saat ini. Kebebasan mengeluarkan aneka pendapat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama mesti dijadikan landasan utama. Sekat-sekat primordialisme kesukuan, jenis kelamin, agama, ras, budaya, geografis, atau latar belakang seseorang, sudah saatnya dijadikan kekayaan tak ternilai umat manusia, bukan menjadi sekat penghambat yang sebenarnya tidak perlu.
Semua itu sudah semestinya dihadirkan dalam ruang dialog antar peradaban dan antar pengalaman, yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan satu kesatuan spiritual, kaya wawasan, dan bijak menyikapi persoalan kemanusiaan yang sedang berjalan. Penafsiran agama dengan demikian memungkinkan terjadinya akulturasi dan asimilasi antar peradaban umat manusia. Sehingga, bangun agama yang terbentuk tidak lagi lokalistik, namun menyentuh hampir semua kalangan, tanpa terceraikan oleh perbedaan-perbedaan yang ada.
Ketiga, adanya teologi fatalistik atau teologi-teologi sejenis. Teologi ini meniscayakan ketidakmampuan manusia untuk berbuat banyak hal di dunia ini. Pada saat yang sama, selalu berharap, campur tangan tuhan, tanpa melakukan kerja maksimal terlebih dahulu. Teologi ini tidak saja menutup rapat-rapat kemampuan manusia, dalam segala hal, namun juga menafikan manusia dan kemanusiaannya sendiri.
Orang tidak percaya lagi dengan dirinya sendiri, akhirnya, manusia menjadi umat yang pasif justru pada saat mereka diharapkan sumbangsihnya untuk mendayagunakan potensi-potensinya bagi dunia. Akhirnya, mereka selalu menjadi penentang abadi pada setiap gagasan pencerahan yang sejatinya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa potensi-potensi itu mesti diwujudkan sehingga terwujud nyata.
Teologi seperti ini tidak akan memberi harapan bagi perubahan umat manusia. Ia hanya akan menjadi duri-duri dalam daging yang begitu menyakitkan, atau menjadi barang mati yang setiap saat melukai para “pejalan” yang melewatinya. Ia tidak bersuara namun teramat pedih dan ngilu ketika mengenai sang pengelana.
Ia selalu mengapresiasikan dirinya sebagai hamba tuhan yang paling benar, tanpa mau melek dan tahu apa sebetulnya ekses negatif yang bisa ditimbulkannya. Mereka menjadi militan-militan, namun tidak melihat realitas. Mereka mengakui realitas sebagai sebuah ajang “keharusan” bukan “kebolehan.”
Dengan kata lain, mencoba menundukkan dunia dalam kawah keharusan untuk begini atau begitu (kaca mata hitam putih), tanpa mau melihat dengan jernih apa sesungguhnya persoalan mendasar dan kompleks yang sedang dihadapi umat manusia dan bagaimana memberikan solusi untuknya. Mereka anti dengan “alternatif” yang banyak memberikan pilihan-pilihan untuk ditempuh.
Penafsiran agama sudah semestinya menjadikan teologi tidak sekedar keyakinan akan adanya Tuhan yang abadi dan mutlak dan transenden, namun lebih dari itu, ia meniscayakan adanya ruang nan luas bagi tumbuh dan berkembangnya potensi-potensi umat manusia.
Teologi qadariyyah dalam pengertian yang lebih luas, bisa menjadi landasan utama untuk melahirkan kepercayaan diri bahwasannya manusia mampu melakukan segala hal. Teologi ini tidak saja akan memberikan peluang bagi manusia untuk memulai sebelum membangun pembebasan yang diinginkan, akan tetapi juga akan melahirkan formulasi dan gagasan-gagasan masa depan jauh lebih spektakuler.
Dengan demikian, menafsir agama untuk saat ini dan seterusnya, sejatinya adalah upaya menguak kembali dimensi penafsiran agama masa lalu dikombinasikan dengan masa saat ini dengan tetap mengedepankan dialektika doktrin dengan realitas. Maka penafsiran agama akan mampu merespons problem-problem kemanusiaan universal.
Penafsiran agama model ini bisa menjadi solusi bagi krisis yang melanda manusia-manusia modern kini. Ia hakikatnya tidak menjadi agama baru, hanya formula lama yang telah lama terpendam dan enggan disentuh, lalu diangkat ke permukaan hingga melampaui batas-batas nir manusia mana pun, kapan pun, dan di mana pun. Tampaknya, agama yang lahir dari penafsiran semacam ini bisa menjadi model agama yang mampu memberikan kedamaian dan ketenangan umat manusia. Wallâh a‘lam

Duta Masyarakat, Jumat 1 Juli 2005

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Play Online Casino Site in Singapore | Lucky 7 casino
Lucky 7 Casino is one 온카지노 of the best casinos in Singapore for Singapore players who love choegocasino the fun and the thrill of slot games. The casino is safe and licensed and 메리트 카지노 고객센터