Minggu, 12 Agustus 2007

Jihad Total Melawan Terorisme

Tiga buah bom yang meledak di Bali 1 Oktober lalu hingga saat sekarang ini masih menjadi bahan pemberitaan hangat di berbagai media massa nasional, cetak maupun elektronik. Simak saja, misalnya, media elektronik yang tidak melewatkan sajian perkembangan di Bali pasca peledakan bom yang diduga dilakukan dengan cara bunuh diri di dua tempat berbeda pada hari yang sama, Jimbaran dan Kuta.
Dan, yang lebih hangat lagi, tentu saja adalah perburuan aparat kepolisian terhadap para pelaku lain yang diduga menjadi dalang di balik semua itu. Jika melewati kota-kota di Bali, kita akan merasakan betapa aura perburuan terhadap para teroris yang diklaim pihak kepolisian sebagai motif utama, begitu sangat terasa.
Di banyak tempat, pemeriksaan secara intens terhadap kendaraan bermotor, terutama truk besar pengangkut barang, juga ditempelkannya selebaran bergambar foto yang diduga sebagai pelaku yang lolos dari maut, bertebaran di mana-mana. Bali saat ini, di satu sisi menyimpan keindahan alam nan molek, ternyata juga menyimpan rasa was-was yang sangat mendalam.
Lantunan doa-doa keselamatan bergema di berbagai penjuru tempat peribadatan umat Hindu. Mereka berdoa agar bom Bali II lalu adalah bom yang terakhir. Mereka berharap tidak akan ada lagi bom-bom lain yang mengganggu ketenangan masyarakat Bali khususnya, dan masyarakat bangsa Indonesia pada umumnya.

Mewaspadai jaring terorisme
Terorisme, apa pun bentuk, motif, dan siapa pun pelakunya, memang harus menjadi perhatian segenap komponen bangsa ini, terutama pemerintah. Mereka sudah seharusnya tidak mengabaikan ancaman teroris sekecil apa pun. Badang Intelejen Negara (BIN), dalam hal ini, sudah harus meningkatkan kewaspadaannya dalam bentuk pengendusan secara dini terhadap aksi-aksi serupa yang mungkin akan terjadi lagi. Jangan sampai, mereka terlambat mendeteksi.
Sudah empat tahun bom-bom berskala cukup besar terjadi. Tahun 2002, bom meledak di Legian, Bali. Tahun 2003, di hotel JW Merriot. Tahun 2004, di Kedutaan Besar Australia di Kuningan. Dan, kemarin, 2005, terjadi lagi di Jimbaran dan Kuta Bali.
Rentetan bom yang menghiasi tahun demi tahun negara ini merupakan bukti kuat betapa terorisme di negeri ini sudah sangat kuat jaringannya. Di satu sisi, BIN, terlihat kurang begitu sigap mengantisipasi. Sementara itu, hingga saat ini, pihak kepolisian belum bisa memastikan keberadaan dua gembong teroris: Dr Azahari dan Noordin M. Top.
Empat kali bom meledak sudah seharusnya semakin membuat pelbagai pihak semakin waspada akan bahaya teroris yang sedang mengancam, di manapun dan kapanpun berada. Dalam hal ini, kerjasama pelbagai elemen masyarakat mutlak dilakukan. Masyarakat sebetulnyalah dalam hal ini yang lebih banyak diandalkan.
Sistem deteksi dini dalam bentuk kerjasama yang apik pihak BIN, kepolisian, dan kekuatan keamanan masyarakat, bisa menjadi senjata yang ampuh guna manangkal sekaligus menguak secara cepat dan tepat dalang dari semua aksi peledakan bom yang terjadi.
Negeri ini memang ‘pantas’ menjadi sarang bagi tumbuh dan berkembangnya jaringan terorisme. Menurut Mun’im A. Sirri (Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, 2003), setidaknya ada dua hal yang memungkinkan negeri ini berpotensi kuat menjadi sarang teroris.
Pertama, situasi politik pasca runtuhnya rezim Orde Baru membuka ruang begitu luas bagi berkembangnya radikalisme agama. Hal itu, lanjutnya, bisa dilihat dari dorongan pelbagai kelompok berkepentingan (interest groups) untuk melibatkan agama ke dalam kehidupan publik. Kedua, lemahnya kepemimpinan (lack of leadership) juga bisa menyebabkan Indonesia terperangkap ke dalam jaringan terorisme global.

Jihad melawan teroris
Jihad melawan teroris, hemat penulis, adalah kalimat final yang mesti digaungkan ke segenap penjuru negeri ini. Menurut kamus bahasa Arab, Al-Mu’jam al-Wasith, jihad menurut bahasa adalah upaya keras dan sungguh-sungguh dalam meraih sesuatu. Jihad melawan teroris dengan demikian adalah mengupayakan, secara sungguh-sungguh, untuk mengendus, menangkal, sekaligus menangkap para pelaku teroris hingga gembong-gembongnya.
Salah satu pesan penting dari ibadah puasa, selain untuk menjadikan manusia sebagai insan yang bertakwa kepada Tuhan, juga dimaksudkan agar kita mampu mengontrol nafsu buruk di dalam diri kita sehingga nafsu itu tidak sampai melahirkan keonaran dalam kehidupan bermasyarakat. Puasa juga adalah perisai yang membentengi kita dari hal-hal buruk yang akan menimpa.
Maka, momentum Ramadhan, salah satunya, harus dijadikan ajang peningkatan kontrol diri dan lingkungan kita, di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, berupaya juga membuat langkah-langkah preventif guna menjaga dan mewaspadai pelbagai macam tindakan buruk yang berpotensi besar akan muncul di tengah-tengah masyarakat.
Masyarakat Bali, yang secara langsung terkena dampak serangan bom teroris, memang sebagian besar bukanlah orang-orang Islam yang pada bulan ini diwajibkan berpuasa. Namun demikian, umat Hindu, dan juga umat-umat beragama yang lain, juga memiliki ritual puasa. Dengan, tentunya, perbedaan-perbedaan tata aturan yang ada pada setiap agama. Alquran sendiri telah menyebutkan bahwa kewajiban puasa itu sebetulnya telah ada pada zaman sebelum Islam dan dilakukan oleh umat-umat selain Islam, bahkan hingga saat ini.
Maka, puasa sebetulnya bisa dijadikan tameng/perisai guna mengantisipasi munculnya terorisme. Karena, di dalam puasa itu sendiri tersimpan pesan upaya-upaya preventif terhadap keburukan-keburukan yang akan muncul, baik dalam dirinya sendiri maupun di luarnya. Berpuasa hendaknya tidak membuat orang pasif, tapi justru harus ekstra aktif, baik aktif membangun diri sendiri maupun aktif membangun orang-orang di luarnya.
Hemat penulis, jihad melawan teroris dapat dilakukan dengan beberapa hal. Pertama, semakin mengeratkan kembali tali persaudaraan atas dasar kemanusiaan universal bukan atas dasar sentimen ras, suku, budaya, maupun agama. Kedua, membendung terciptanya radikalisme umat beragama. Karena, radikalisme agama justru berpotensi menciptakan umat yang berwatak keras tanpa kompromi.
Hal ini tentu saja, dalam tahap tertentu, bisa dimanfaatkan sebagai mesin penghancur tatanan peradaban yang sedang dibangun bersama. Dan, ketiga, secara bersama-sama meningkatkan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial. Kesalehan sosial, dalam konteks ini, hendaknya bisa dijadikan kekuatan dahsyat guna menangkal terorisme.
Semoga, Bom Bali II tidak terulang kembali. Para pelakunya berhasil ditangkap dan dihukum keras. Di samping itu, upaya pembongkaran terhadap jaringan terorisme di negeri ini juga harus terus-menerus dilakukan. Terorisme adalah kejahatan yang berpotensi melahirkan korban-korban manusia dan kemanusiaan sangat besar. Maka, jihad terhadap teroris mutlak dilakukan. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Jumat 21 Oktober 2005

Tidak ada komentar: