Sabtu, 18 Agustus 2007

Parpol Baru dan Apatisme Publik

Di tengah kian menurunnya tingkat kepercayaan publik pada partai-partai politik (parpol), parpol justru kian bermunculan bak cendawan di musim hujan. Sudah sekitar 40-an lebih parpol yang mendaftarkan diri sebagai kontestan untuk bertarung pada pemilu 2009 nanti. Jika publik “tidak percaya” parpol, kenapa begitu banyak parpol baru bermunculan? Atau, jangan-jangan ada sesuatu yang lain di balik gambaran yang terbaca pada kenyataan ini?

Munculnya parpol baru
Dalam kamus politik ada adagium bahwa politik sesungguhnya adalah ajang untuk “merebut” kekuasaan. Jika upaya “merebut” kekuasaan ini berpotensi kecil dapat diraih melalui jalur di luar parpol, dikecualikan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh beberapa waktu lalu yang melahirkan tokoh di luar parpol (independen) sebagai pemenang, orang-orang yang punya hasrat berkuasa mau tidak mau mesti masuk ke dunia parpol, baik itu melalui afiliasi ke parpol yang sudah ada atau membuat parpol baru. Dan, pilihan terakhir ini tampaknya yang kini menjadi trend.
Munculnya parpol-parpol baru bisa bermakna ganda. Pertama, banyaknya tuntutan yang tidak terakomodasi melalui parpol-parpol yang sudah ada, baik karena ideologi dan platform partai yang sudah tidak menjadi acuan, maupun karena kegagalan individu terkait dalam meraih pengaruh yang lebih baik di parpol yang kemudian ia tinggalkan. Kedua, hasrat memburu kekuasaan yang begitu kuat, di samping bisa jadi pula karena terinspirasi oleh kesuksesan seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Partai Demokrat (PD) pada pemilu 2004.
Jika parpol-parpol baru lahir karena “kekecewaan” simpatisan pada parpol sebelumnya, mau tidak mau partai-partai yang ditinggalkan itu mesti mengevaluasi diri. Reformasi total di internal partai, dalam hal ini, mutlak dilakukan. Alasannya, tentu ada api kalau ada asap. Artinya, ada persoalan serius di tubuh parpol yang ditinggalkan sehingga dengan mudahnya ditinggalkan kader-kader terbaiknya.

Apatisme publik
Hal paling berbahaya dalam sistem demokrasi multi partai dalam konteks pertumbuhan demokrasi di republik ini antara lain ketika tingkat kepercayaan rakyat terhadap parpol-parpol yang diharapkan menjadi wadah penyaluran aspirasi mereka, menurun drastis hingga pada tingkat yang mengkhawatirkan: rakyat apatis, rakyat tidak peduli pada parpol-parpol. Ini berbahaya, setidaknya dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif masa depan parpol. Kedua, dari perspektif pola pikir rakyat yang berubah drastis kala melihat harapan yang disemai tidak kunjung terwujud. Akibat langsungnya, tingkat kepercayaan pada parpol tergerus sedikit demi sedikit.
Apatisme rakyat terhadap parpol-parpol jelas menurunkan dukungannya pada parpol-parpol, yang tentunya berpengaruh besar pada perubahan peta politik parpol-parpol di kemudian hari. Tetapi, pada titik ini, masih ada sedikit harapan buat parpol-parpol ini untuk sedikit bernafas lega dengan keberadaan massa pendukung fanatik, baik fanatisme ini terbentuk oleh kekuatan jaringan dan kaderisasi yang mapan, maupun kekuatan money politics yang biasa mewarnai setiap pagelaran pemilu demi mendongkrak perolehan suara secara temporal.
Apatisme rakyat sekaligus menunjukkan ketidakpedulian rakyat terhadap parpol. Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Sebab yang tampak jelas terlihat adalah kurang optimalnya perhatian parpol, kalau tidak malah model politik yang bertentangan dengan visi dan misi kala kader-kadernya sudah duduk di tampuk kekuasan. Parpol menjadi tidak pro-rakyat, tetapi pro “yang lain” yang sering kali justru mengorbankan rakyat. Fakta kelangkaan minyak tanah, naiknya harga beras, bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), pelayanan terhadap publik yang buruk, tingkat kemikinan dan pengangguran yang meningkat, adalah beberapa deret fakta yang tampak secara kasat mata membuktikan kegagalan parpol mengkritisi pemerintah.
Jika eksistensi parpol diharapkan tetap bertahan sebagai modal sekaligus jembatan rakyat menyurakan kepedihan dan harapan akan masa depan yang lebih baik, parpol mesti segera berbenah, tidak hanya dalam konteks pembenahan internal menyangkut misi dan visi yang jelas, namun juga pembenahan eksternal menyangkut hubungan dengan rakyat dan bagaimana kesungguhan menyampaikan aspirasi mereka. Jika tidak, kiamat parpol bisa jadi bukan hal yang mustahil terjadi.

Suara Pembaruan, Selasa 26 Juni 2007

Tidak ada komentar: