Sabtu, 18 Agustus 2007

Puasa: Tidak Sekadar Ritual Tahunan

Untuk ke sekian kalinya, segenap umat Islam di seluruh pelosok nusantara negeri ini, dengan rahmat Tuhan, dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Saat ini, Ramadhan itu kembali lagi menemui kita. Dalam rentangan waktu satu tahun, setelah Ramadhan setahun yang lalu, kita mungkin sudah tidak dapat lagi menghitung banyaknya dosa-dosa, kesalahan, dan perilaku buruk yang telah dilakukan. Belum lagi di ditambah oleh kesedikitan kita dalam menyisakan waktu untuk merenungi diri pasca Ramadhan tahun lalu.
Sadar maupun tidak, di antara kita seakan-akan selalu berjudi dengan Ramadhan. Maksudnya, kita kerap kali getol beribadah, baik yang mahdhah maupun yang ghayr mahdhah, namun itu dilakukan sebatas di bulan Ramadhan. Setelah lepas Ramadhan, kita kembali pada keburukan-keburukan yang seolah sudah mengakar kuat di jiwa dan pikiran kita. Ramadhan tampak tidak meninggalkan bekas apa-apa selain kebajikan yang hanya tampak sesaat, kejujuran yang menipu, dan kemurahhatian yang temporal.
Pada titik ini, sudah sepantasnya kita bertanya pada diri sendiri, mestikah Ramadhan kali ini akan kita jadikan ajang perjudian lagi? Apakah di bulan Ramadhan kali ini, kita akan melestarikan wajah-wajah hipokrit kita, sadar maupun tidak? Glamour sesaat, namun tak berbekas sama sekali di kedalaman hati. Itu di satu sisi. Pada sisi lain, masihkah kita ingin menjadi pemburu-pemburu pahala sebagai impact dari kebaikan dan kesalehan kita, tanpa dilanjuti menjadi aktor-aktor penebar kasih sayang terhadap sesama?
Apakah semua yang akan kita lakukan di Ramadhan kali ini hanyalah mengikuti trend yang sedang berjalan, tanpa mau memperbaiki diri, mengaca diri, lalu membersihkan hati ini dari noda-noda dosa yang berkarat, dengan niatan ikhlas tulus, semata-mata berharap bahwa Ramadhan harus mampu memola arah dan tujuan sejati hidup ini, dalam binaran cahaya keridaan Allah SWT?

Ramadhan yang membakar
Ramadhan yang membakar, melahap habis materi-materi kotor yang berserakan di kedalaman jiwa, hingga dapat mengubah marah menjadi kasih, duka nestapa menjadi ceria, dalam binaran cinta tak pernah fana, cinta Allah SWT yang terus-menerus terbuka bagi siapa yang siap sedia menengadahkan seluruh jiwa raga, menyimpuhkan dada penuh rela demi Allah SWT semata.
Ramadhan penuh makna, di setiap sudut-sudut amal, di situlah lipatan-lipatan pahala kan terus menumpuk, memenuhi jiwa yang sekian lama dahaga, karena tak pernah tersiram air kehidupan yang menumbuhkan pohon-pohon kasih, bunga-bunga cinta, dan buah-buah bahagia dunia dan akhirat.
Ramadhan akan tetap kembali, kita tunggu maupun tidak. Ia akan tetap menyapa, seolah takan pernah putus harapan atau asa. Maka, alangkah beruntungnya seorang hamba, yang mampu mengambil hikmah-hikmah hidup, kemudian merefleksikannya dalam kehidupan. Memberikan butiran-butiran arti bahwa ternyata, Allah SWT selalu memberikan kesempatan kepada setiap makhluk-Nya untuk selalu memperbaiki diri, bersimpuh menyadari segala kealpaan yang pernah terjadi. Karena, memang manusia itu makhluk yang tak bisa lepas dari kekhilafan dan kesalahan.
Ramadhan sedang melingkupi kita saat ini, tidak akan mampu kita hindari. Jika kita merenung sejenak, Ramadhan sebetulnya menyindir orang-orang yang sekian lama berkubang dalam dosa tanpa mau berkata bahwa dirinya telah berdosa. Ia mengkritik orang-orang yang sekian lama membohongi diri dan orang lain demi kepentingan nafsu serakahnya.
Ia menegur orang-orang yang memperkaya diri tapi sering melupakan orang lain yang hidup dalam kepapaan. Sudah waktunya, kita bertekad bulat, bahwa Ramadhan harus menjadi saksi kembalinya diri sejati kita menuju Zat Yang Mahasuci Yang selalu memberikan media Ramadhan sebagai penyuci itu kepada seluruh manusia. Semoga Ramadhan kali ini kita lewati dengan pencapaian puncak tertinggi spiritualitas kita. Bertemu Allah SWT dalam kesucian sejati.

Sekadar ritual tahunan?
Diundang maupun tidak, Ramadhan akan tetap menyapa manusia. Karena, Ramadhan adalah siklus tahunan yang tidak akan berhenti hingga akhir zaman. Sayangnya, sebagian di antara kita, mungkin kerap kali tidak mengoptimalkan bulan yang dikatakan oleh Rasulullah SAW sebagai bulan penuh berkah dan ampunan. Bulan di mana dikatakan bahwa setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, pintu-pintu surga dibuka, dan ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Sebagaimana halnya ibadah-ibadah lain yang diwajibkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, berpuasa di bulan Ramadhan juga diwajibkan dengan tujuan membentuk pribadi-pribadi bertakwa yang tangguh. Takwa yang tidak hanya terbentuk dan mencapai puncaknya selama Ramadhan, tetapi juga pasca Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya.
Karena itulah, sebagaimana dalam ibadah-ibadah lainnya, berpuasa Ramadhan oleh Rasulullah SAW ditekankan agar tidak hanya dijadikan sebagai rutinitas tahunan yang memberikan dampak positif dan berkah besar selama bulan Ramadhan. Jika menjadikan puasa di bulan Ramadhan sekadar ritual tahunan, maka, seperti yang disinyalir oleh Rasulullah SAW, berpuasa hanya akan merasakan lapar dan dahaga, tidak sampai mendapatkan nilai terbesarnya.
Rasulullah SAW mengatakan, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan nilai terbesarnya selain hanya rasa lapar dan dahaga.” (HR al-Bukhari-Muslim). Atau, berpuasa tetapi hanya mendapatkan keuntungan materi yang bersifat duniawi. Salah satu berkah bulan Ramadhan memang, di antaranya, adalah mendapatkan itu. Tetapi, jika hanya itu yang didapat, bukankah itu berarti melewatkan Ramadhan yang penuh pahala di sisi Allah SWT.
Bulan Ramadhan akan selalu datang setiap tahunnya. Di antara kita tentunya sudah bertemu dengan Ramadhan sekian lama. Tetapi, jika kita mengintrospeksi diri kembali, sudahkah Ramadhan yang pernah dilalui di waktu-waktu sebelumnya mampu kita jadikan momentum untuk perbaikan diri setiap waktu, tidak hanya sekadar ritual sebulan dalam setahun? Wallahu a‘lam.

Media Dakwah, Jumat 23 Februari 2007

Tidak ada komentar: