Minggu, 12 Agustus 2007

Islam Fundamental atau Fundamentalis Islam?

Maraknya aksi-aksi kekerasan akhir-akhir ini, seperti teror bom, pembunuhan sadis, dan penculikan, oleh sementara kalangan dipicu, selain karena persoalan ekonomi, konflik sosial, dan politik yang represif, sentimen keagamaan.
Sentimen tersebut biasanya muncul akibat pemahaman yang terlalu radikal sehingga memunculkan apa yang saat ini gencar diwacanakan sebagai radikalisme agama. Dalam tahap tertentu, sentimen yang dipicu radikalisme agama itu biasa juga diasosiasikan sebagai arus gerakan fundamentalis.
Samuel P. Huntington adalah salah seorang yang berpandangan bahwa fundamentalisme juga terkait persoalan basis agama. Dalam buku fenomenalnya, The Clash of Civilizations dan the Remaking of World Order, 1996, dia menyatakan bahwa tatanan dunia mendatang akan muncul berdasar peradaban yang lahir dari ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi agama. Karena itu, retorika seperti fundamentalisme bagi Huntington merupakan letupan yang tidak bisa terhindarkan dari peradaban berbasis agama tersebut.
Walaupun ada sementara kalangan yang membedakan antara radikalisme dan fundamentalisme, keduanya tetap menyimpan bara dan potensi kekerasan yang sangat mengerikan.
Fundamentalisme oleh sebagian kalangan lebih pada keterkaitannya dengan persoalan politik yang kurang memberikan ruang lebar kepada kelompok-kelompok tertentu, bahkan cenderung memperlakukannya secara represif. Akibatnya, kelompok itu tidak memiliki akses politik yang cukup memadai. Pengalaman Aljazair, misalnya, membuktikan hal itu, juga beberapa negara yang lain.
Sementara itu, radikalisme lebih pada upaya pemaknaan kembali pada ajaran-ajaran agama tertentu dengan model pemahaman yang sangat literalistik, rigid, dan sekadar taken for granted tanpa upaya pemahaman kritis. Buahnya, tentu saja adalah aksi-aksi sosial yang cenderung kurang memperhatikan aspek tatanan kehidupan sosial yang harmonis, toleran, dan plural. Mereka terinspirasi dari pemahaman-pemahaman sangat eksklusif itu.
Parahnya, doktrin ajaran yang mereka baca sebatas pada doktrin-doktrin tertentu yang mereka anggap relevan untuk diterapkan dalam kancah kehidupan kontemporer saat ini. Misalnya, doktrin jihad terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan atau agama dan menganggap yang berbeda itu sebagai kafir, sesat-menyesatkan, dan seterusnya.
Sementara itu, doktrin-doktrin ajaran yang lebih menekankan kepada manusia untuk mengedepankan sikap kasih sayang terhadap sesama, kerja sama, toleransi, dan saling menghargai kurang mereka perhatikan.

Islam fundamental
Islam saat ini ramai diperbincangkan. Tidak hanya karena ulah sebagian pengikutnya yang mengatasnamakan Islam dalam setiap aksi terornya. Namun, itu juga karena banyaknya orang yang semakin ingin tahu Islam sesungguhnya dan bagaimana sebetulnya Islam menjawab beberapa pertanyaan seputar radikalisme dan fundamentalisme yang dengan sengaja telah ditumbuhkembangkan dalam Islam itu sendiri juga oleh sebagian pengikutnya.
Walaupun istilah fundamentalis lahir dari rahim peradaban Kristen di Barat, sebagai gejala sosiologis, Islam juga tidak bisa terlepas dari itu semua. Transformasi sosial yang semakin terlihat wujud nyatanya saat ini semakin meneguhkan rentannya umat-umat beragama menjadi radikal atau fundamentalis.
Orang-orang tersebut biasanya menganggap bahwa transformasi atau perubahan sosial yang sedang terjadi sebagai sebuah krisis yang harus dihadapi dengan jalan kembali pada ajaran agama otentik (Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, 2003).
Hemat penulis, pada setiap agama ada aspek-aspek fundamental yang harus menjadi pegangan hidup pengikutnya. Begitu pula halnya dengan Islam. Dalam Islam, ada doktrin-doktrin fundamental yang harus diyakini, kemudian dilakukan dalam kehidupan nyata sebagai ekspresi keimanannya itu.
Doktrin yang paling fundamental dalam Islam adalah doktrin keimanan kepada Tuhan. Bentuk ekspresinya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah praksis keimanan yang berwujud perilaku sosial nyata dalam kehidupan.
Islam fundamental selalu menekankan arti penting keimanan sebagai basis dalam setiap gerak hidup. Gerak hidup tanpa landasan keimanan akan berbuah sia-sia. Fakhruddin ar-Razi, salah seorang pakar tafsir terkemuka, dalam karyanya, Tafsir ar-Razi, membedakan persoalan iman dan Islam.
Menurut dia, beriman secara benar dalam tata aturan syariat yang benar merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun. Seorang yang beriman, tapi tidak ber-Islam, maka imannya tidak akan diterima karena dia tidak bernilai konkret apa-apa, bisa-bisa iman itu malah melahirkan kebatilan dan kemusyrikan.
Fundamentalis Islam
Sebagai ekspresi keberimanan, seorang muslim berpotensi kuat menjadi fundamentalis (orang yang mengamalkan ajaran-ajaran fundamental).
Dalam semua agama, potensi itu adalah laten permanen yang suatu saat dapat meletup menjadi aksi-aksi yang beragam. Menjadi seorang fundamentalis saat yang sama juga bisa menjadi seorang liberalis.
Menjadi fundamentalis saat yang sama juga bisa menjadi seorang revivalis-konservatis. Karena itu, ada orang yang secara terang-terangan menyatakan kebanggaannya sebagai seorang fundamentalis.
Fundamentalis-liberal merefleksikan aksi-aksinya melalui perjuangan moral-intelektual guna mengkritisi aspek-aspek fundamentalnya dan menghadirkan aspek fundamental yang lebih inklusif, toleran, progresif, dan emansipatoris, bertujuan akhir pada upaya penciptaan tatanan sosial yang lebih humanis.
Sementara itu, fundamentalis revivalis-konservatis merefleksikan aksi-aksinya juga melalui perjuangan moral-intelektual, namun kurang kritis terhadap aspek-aspek fundamentalnya. Akibatnya, kelompok tersebut menghadirkan pemikiran dan aksi yang kurang toleran dan cenderung eksklusif.

Jawa Pos, Jumat 18 November 2005

Tidak ada komentar: