Minggu, 12 Agustus 2007

Bencana Takdir Tuhan?

Belakangan, seiring dengan terjadinya berbagai musibah di negeri ini, wacana takdir kembali muncul, meski tidak bombastis. Ada yang mengatakan bahwa bencana itu adalah takdir Tuhan, dan karena itu manusia harus menerimanya dengan ikhlas dan sabar. Ada pula yang mengatakan sebaliknya, yakni bencana itu bukan takdir-Nya, tetapi ulah manusia. Dan, oleh sebab itu, manusia yang harus introspeksi diri dan bangkit untuk mengantisipasi bencana itu datang lagi di kemudian hari.

Takdir Tuhan
Takdir berakar dari bahasa Arab qadara yang memiliki arti, antara lain, keputusan, ketetapan, dan perhitungan. Dalam Alquran banyak ayat yang membicarakan takdir, di antaranya: takdir kematian yang hanya Tuhan Yang Tahu dan berkuasa mematikan manusia sesuai dengan waktu-Nya, takdir bahwa apapun di dunia ini adalah sesuai peraturan-Nya, takdir bahwa kehendak-Nya itu mutlak, takdir bahwa hukum (agama) ada di tangan-Nya, takdir bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini sesuai dengan yang tertulis di kitab-Nya, takdir bahwa segala sesuatu ada ukurannya, dan takdir bahwa segala sesuatu telah Tuhan ketahui.
Jika memerhatikan secara cermat, sebetulnya gaya bahasa Alquran cukup indah dan cerdas ketika menggambarkan persoalan takdir ini. Ketika takdir dikaitkan dengan Tuhan, maka takdir digambarkan dengan kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan mutlak, meliputi segala sesuatu. Tuhan, misalnya, digambarkan sebagai Yang menciptakan alam raya beserta segala isinya, tanpa ada yang mampu menandinginya. Manusia adalah bagian dari takdir penciptaan itu sendiri. Dan, manusia adalah makhluk Tuhan yang terlingkupi oleh takdir-Nya.
Namun, lain halnya ketika takdir itu dikaitkan dengan manusia dalam konteks hubungannya dengan alam (lingkungan: ekologi). Alquran selalu menggambarkan bahwa manusia memiliki keleluasaan untuk melakukan berbagai hal yang mereka inginkan. Dalam Alquran misalnya disebutkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga kaum itu mengubah nasib mereka sendiri.
Takdir sebetulnya adalah keputusan dan ketetapan Tuhan yang pasti terjadi. Namun, manusia tidak akan pernah tahu takdir Tuhan seperti apa dan bagaimana. Manusia tidak dituntut untuk tahu apa yang Tuhan takdirkan pada manusia, karena jawabannya pasti spekulatif. Yang dituntut dari manusia adalah upaya untuk merancang dan melakukan segala hal positif untuk meminimalisasi takdir buruk yang mungkin akan terjadi.
Konteks bencana
Tahukah manusia waktu yang pasti dan tepat terjadinya bencana? Dan, ketika bencana itu benar-benar datang, bisakah manusia menghindarinya? Dengan kecanggihan teknologi dan perkembangan alam pikiran manusia, tetap saja manusia hanya bisa memprediksi dan memberikan warning. Tetapi, sebetulnya, bencana itu sendiri dikategorikan ke dalam dua bentuk; pertama, bencana yang tidak mungkin manusia cegah. Kedua, bencana yang masih mungkin dihindari. Ini menyangkut persoalan manusia. Manusia, secermat apa pun, pada suatu ketika akan lengah. Inilah yang disebut dengan soal human error.
Bencana alam, seperti gunung meletus, angin puting beliung, tanah longsor, gempa bumi, dan tsunami, jelas merupakan fenomena alam yang dari zaman pertama kali bumi ini terbentuk, terjadi. Manusia tidak mampu mencegahnya. Yang bisa dilakukan adalah memprediksi, mengingatkan, dan mencari jalan untuk meminimalisasi dampak buruk lebih besar. Sementara kecelakaan pesawat, kapal, banjir, serta tabrakan di jalan raya bukan fenomena alam, tetapi fenomena kelalaian dan kesalahan manusia (baca: pihak-pihak terkait, juga sistem yang menaunginya).
Bencana banjir, memang fenomena alam. Tetapi, hal itu lebih disebabkan oleh kelalaian dan kesalahan manusia. Dari mulai kurangnya perhatian terhadap aspek lingkungan, hingga pihak-pihak pengatur tata lingkungan yang tidak serius memerbaiki kekurangan itu. Banjir di Jakarta, juga di beberapa daerah lain, bisa dipredikisi, dianalisis, dan direkomendasi agar dilakukan langkah-langkah perbaikan ke depan. Nyatanya, selalu terjadi, rekomendasi dari berbagai pakar tidak ditindaklanjuti secara serius. Seringnya, upaya-upaya pembelaan diri dan hanya cari selamat, sambil menyalahkan alam, dan mungkin menyalahkan Tuhan karena mengangap itu takdir-Nya.
Berbagai bencana yang terjadi di muka bumi, terkait dengan waktunya, adalah persoalan gaib. Maknanya, secara pasti tidak mampu ditentukan waktunya. Tetapi, itu sudah menjadi fenomena alam yang menjadi pengalaman manusia yang seharusnya memberikan pelajaran berharga buat manusia untuk bersama-sama menata lingkungan secara baik. Semua pihak ikut bertanggungjawab. Tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Pemerintah, di satu sisi, mesti menindaklanjuti rekomendasi dari para pakar dan pengamat, di sisi yang lain masyarakat juga ikut berkontribusi. Semua, tentunya, demi kebaikan bersama.

Jurnal Nasional, Rabu 21 Maret 2007

Tidak ada komentar: