Sabtu, 11 Agustus 2007

Agama, Konflik, dan Harapan ke Depan

Akhir-akhir ini, persoalan konflik antarumat beragama kerapkali menghiasi pemberitaan media-media nasional. Seakan telah menjadi budaya, konflik kerapkali justru dilestarikan, bahkan “didewa-dewakan” karena dianggap sebagai konflik “yang seharusnya” terjadi, bukan “konflik yang seharusnya” dihindari.
Tetapi, apa yang oleh kalangan itu disebut “meninggikan agama Tuhan,” dalam kenyataan ternyata tidak lebih dari upaya “merendahkan agama Tuhan.” Apakah dengan pekik “Allahu akbar,” misalnya, lalu merusak fasilitas umum, rumah penduduk, bangunan-bangunan vital pemerintah, bahkan membakar tempat-tempat ibadah, masih layak disebut sebagai “meninggikan agama Tuhan”?
Atas nama Tuhan, mereka membuat kerusakan di muka bumi. Persis seperti yang Tuhan sindir dalam Alquran, “Sungguh telah tampak kerusakan di muka bumi akibat ulah tangan-tangan manusia sendiri.” (QS Ar-Ruum: 41). Tuhan sendiri telah menyatakan bahwa kerusakan itu adalah ulah tangan manusia sendiri. Bukan ulah Tuhan. Ini berarti bahwa, hakikatnya, Tuhan tidak menginginkan terjadinya kerusakan. Tuhan membenci kerusakan. Tuhan membenci konflik berdarah-darah yang merusak manusia dan kemanusiaan.

Persoalan dasar
Pada hemat penulis, ada beberapa persoalan mendasar yang membuat umat beragama lebih “suka” kekerasan atas nama Tuhan. Pertama, hilangnya nilai-nilai penghargaan dan penghormatan pada penganut keyakinan yang. Parahnya, keyakinan orang lain secara sporadis, bahkan sengaja dipublikasikan sebagai keyakinan sesat-menyesatkan yang harus diluruskan.
Pernyataan Menteri Agama, Maftuh Basyuni, beberapa waktu yang lalu, sesaat setelah melakukan pertemuan dengan alim-ulama dalam membahas persoalan penganut paham Ahmadiyah, tentang himbauan agar Ahmadiyah memilih keluar dari lingkaran agama Islam dan membuat agama baru, dengan tidak membawa “embel-embel” Islam yang berbasis Alquran dan Sunnah Rasululullah SAW, atau kembali ke ajaran Islam yang murni “versi” ulama pemerintah (MUI), patut dipertanyakan (baca: digugat) dan disayangkan.
Kedua, anggapan bahwa hanya agamanya yang paling superior. Parahnya, agama yang mereka maksud adalah agama dalam tafsir monolitik mereka yang sangat eksklusif dan intoleran. Bukan agama yang inklusif dan terbuka dengan dialog konstruktif dan prospektif. Akibatnya, timbul paham single authority only justru dalam agama yang oleh Tuhan sendiri sebut sebagai agama “rahmatan lil ‘alamin.”
Paham single authority only, terbukti telah membuat agama yang berhak tampil ke permukaan hanyalah agama garang, seram, dan menakutkan. Orang beragama justru merasa takut karena senantiasa dimonitor oleh yang (menganggap dirinya) memiliki autoritas tinggi dan tunggal itu. Keliru sedikit, siap-siap nyawa taruhannya. Atau siap-siap distempel sebagai penganut sesat-menyesatkan yang harus disadarkan.
Dan, ketiga, memandang agama hanya dari sisi normatif doktrinal tanpa mau melihat pesan moral yang dikandung oleh keduanya. Padahal, ada banyak dimensi agama yang seyogyanya dapat disinergiskan untuk mencipta tatanan sosial yang lebih beradab. Tafsir tematis kritis (maudhui) yang menjadi salah satu tren metode tafsir Alquran, di satu sisi, merupakan satu langkah positif dalam proses sinergisasi norma-norma dan doktrin-doktrin agama.
Inilah salah satu agenda pemikiran kaum modernis Islam yang oleh Fazlur Rahman dalam satu tulisannya, Roots of Islamic Neo-Fundamentalism, dianggap telah mengukir suatu era yang cemerlang dalam pemikiran Islam. Karena, inti pikiran modernisme Islam ialah penciptaan kaitan yang positif antara ajaran-ajaran Alquran dan pandangan hidup modern pada masalah-masalah kuncinya, yang menghasilkan integrasi pranata-pranata modern dengan orientasi-orientasi moral-sosial Alquran.

Harapan
Orang beragama sejatinya sedang menyimpan suatu harapan. Harapan untuk memperoleh dan merasakan kehidupan yang lebih baik, lahir dan batin. Agama oleh pengikutnya diyakini dapat memberikan itu semua. Ia ibarat payung yang melindungi seseorang dari sengatan matahari yang terlalu terik dan dari hujan yang terlalu deras. Agama, dengan demikian diharapkan mampu menjadi sumber kenyamanan dan ketenteraman batin.
Tetapi, harapan itu, rasanya sulit terwujud jika agama justru berada di tangan-tangan penafsir yang suka mencipta dan melestarikan kekerasan dengan dalih bahwa apa yang dilakukan ada dalilnya dalam teks-teks yang mereka anggap suci. Konflik antar umat beragama yang terjadi, sejatinya, merupakan wujud nyata itu semua.
Maka tepat, mengutip Zainun Kamal, model agama akan sangat tergantung dari siapa yang memegangnya. Karena itu, berbicara agama selalu terkait dengan apa yang disebut dengan “perebutan tafsir.” Hal yang wajar terjadi. Toh, semua tafsir yang ada akan diuji oleh sejarah. Penilaian hakiki Tuhan, siapa yang tahu?
Kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan sendiri. Manusia, mengutip Muhammad Asad dalam bukunya, The Message of the Qur’an, tidak dibenarkan untuk menganggap perolehannya dalam menafsirkan agama, sebagai mutlak dan final, sebab tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada berpikir bahwa terjemahan-terjemahan (yakni, ungkapan-ungkapan dalam bahasa manusia) itu dapat memberi definisi kepada sesuatu yang tidak mungkin didefinisikan.
Jika agama didudukkan pada posisinya yang hakiki, yaitu sebagai petunjuk keselamatan bagi umat manusia, maka konflik dan stempel-stempel sesat-menyesatkan, rasanya tidak perlu terjadi. Bagaimanapun juga, para penganut agama tertentu hakikatnya sedang membaca agamanya dalam kapasitasnya masing-masing. Semua itu layak dihargai dan dihormati sebagai bentuk apresiasi tinggi guna menguak dimensi-dimensi agama yang bisa jadi belum pernah ditemukan sebelumnya (unthinkable).
Harapan ke depan, antarumat beragama, baik yang berbeda maupun yang sama, terlibat aktif dalam membangun dan mengembangkan diri masing-masing ke arah jalan baru yang lebih prospektif. Memberdayakan umat manusia untuk mengentaskan persoalan sosial yang jauh lebih serius dan urgen, secara bersama-sama. Melawan kezaliman, ketidakadilan, keterbelakangan, dan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul. Akhirnya, umat beragama sendirilah yang akan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Senin 6 Maret 2006

Tidak ada komentar: