Jumat, 17 Agustus 2007

Mewaspadai Konflik Agama Pasca-Revisi SKB

Hubungan antarumat beragama, khususnya, di Indonesia belakangan ini sedang mengalami ujian yang cukup berat. Problem serius yang baru-baru ini mengemuka adalah terjadinya pengrusakan tempat-tempat ibadah agama lain oleh umat beragama lain karena dinilai tidak sesuai dengan tata aturan pendirian tempat ibadah yang ada.
Tata aturan yang dimaksud adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) nomor 1 tahun 1969 antara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag). Dalam SKB ini, antara lain, diatur bahwa pendirian tempat ibadah harus mendapatkan persetujuan, setidaknya oleh 90 orang di sekitar tempat ibadah yang akan dibangun. Selain itu, izin dari pemerintah daerah (Pemda) setempat juga mesti sudah dikantongi.

Reaksi
Akibat kejadian itu, banyak pihak, terutama yang merasa dirugikan, menyayangkannya sekaligus menuntut pemerintah mencabut SKB yang telah dianggap menjadi pangkal persoalan serius. SKB dinilai tidak sejalan dengan ruh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan melakukan kegiatan keagamaan. Lebih gawat lagi, SKB itu dinilai berpotensi besar dapat memicu konflik horizontal antarumat beragama.
Tetapi, desakan agar pemerintah mencabut SKB itu mendapat reaksi balik dari banyak kalangan pula. Melalui serangkaian demonstrasi yang digelar di beberapa tempat, kalangan ini menyuarakan pembelaan “mati-matian” terhadap SKB. Mereka merasa bahwa SKB itu bukanlah pangkal persoalannya. SKB itu sudah tepat tata aturannya. Justru, pihak-pihak yang terkait dengan pendirian tempat ibadah “dadakan” itu sendiri yang tidak mau mengindahkan SKB tersebut.
Sebagai jalan tengah terhadap kedua “kubu” yang berbeda pandangan itu, akhirnya pemerintah melakukan kajian ulang terhadap SKB. Setelah melakukan dialog intensif, setidaknya hingga sepuluh kali dialog, seperti yang diutarakan oleh Moh Ma’ruf (Mendagri), dengan melibatkan banyak kalangan sebagai perwakilan dari agama-agama yang ada, akhirnya disepakatilah tata aturan baru. SKB nomor 1 tahun 1969 direvisi dengan SKB baru Menag no 9 tahun 2006 dan Mendagri no 8 tahun 2006 yang diteken bersama pada 21 Maret 2006 lalu.
Keluarnya revisi disambut gembira banyak pihak. Walau, ada sebagian pihak pula yang masih merasa belum “sreg.” Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga masih mempertanyakan hal itu. Masalahnya sekarang adalah apakah SKB itu dapat menjamin konflik horizontal yang sama tidak terjadi kelak di kemudian hari?
Pasalnya, tidak ada perubahan yang terlalu signifikan dalam SKB revisi itu. Setidaknya, hanya ada dua perubahan yang mencolok. Pertama, jumlah orang yang menyetujui didirikannya tempat ibadah diturunkan dari 90 orang menjadi 60 orang (Bab IV pasal 14, No 2 huruf b). Dan, kedua, dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada Bab III pasal 8-12.

Kuasa negara
Substansi SKB, hemat penulis, masih belum menggambarkan semangat UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Jika dicermati bersama, akan berujung pada satu kesimpulan bahwa kegiatan beragama harus mendapat pengaturan ketat. Lebih parah lagi, yang mengatur adalah negara. Negara, dalam hal ini, telah mengintervensi kebebasan beragama warganya.
Jika kuasa negara menjadi alat yang dominan dalam kehidupan umat beragama, setidaknya ada beberapa hal yang cukup mengkhawatirkan terjadi. Pertama, negara telah “mencederai” UUD 1945. Fungsi negara, memang, salah satunya, adalah mengatur ketertiban warganya. Tetapi, jika fungsi pengatur itu justru bertentangan dengan UUD 1945 yang telah “diamini” bersama sebagai perundang-undangan yang tertinggi, maka fungsi pengaturan itu perlu dilihat kembali.
Kedua, jika kuasa negara telah mengintervensi kehidupan umat beragama, maka kerapkali terjadi “politisasi agama.” Agama dijadikan alat politik untuk menekan, membatasi, sekaligus membungkam agama lain. Agama yang memiliki umat mayoritas memiliki banyak alasan untuk tidak memberi izin mendirikan tempat ibadah bagi umat minoritas.
Mengacu pada SKB revisi, dikatakan bahwa pemerintah hanya akan memberi izin jika ada kesepakatan dari warga setempat. Hal ini, tentu saja, berpotensi besar akan menciptakan blok-blok agama di daerah-daerah.
Terjadinya blok-blok agama, jika benar terwujud, tentu saja bakal menjadi ganjalan yang serius dalam upaya terciptanya kerukunan antarumat beragama yang sebetulnya ingin diciptakan oleh SKB revisi itu secara menyeluruh. Alih-alih ingin menciptakan kehidupan yang harmonis dan toleran, yang lahir adalah semakin menguatnya sentimen terhadap agama lain. Pada saat yang sama, terbangunnya kekuatan internal agama-agama secara radikal-ekstrim.
Terwujudnya blok-blok agama, secara geopolitis juga mencerminkan kondisi warga bangsa yang rawan dan rentan timbulkan konflik. Sensitifitas umat beragama akan semakin menguat. Jika terjadi pergesekan akan mudah terpicu dan terprovokasi. Selain itu, akan semakin meneguhkan bangsa ini sebagai bangsa yang suka “memelopori” konflik warganya sendiri.

Antisipasi
Langkah antisipasi, dalam konteks ini, patut dilakukan. SKB revisi telah disahkan. Dengan segala pandangan, baik yang sepakat maupun yang masih “mendongkol,” semua pihak mesti ikut berpatisipasi menjaga kerukunan umat beragama di lapangan. Pemerintah sedang berupaya maksimal menyosialisasikan SKB itu kepada warganya. Tetapi, itu belum menjamin bahwa konflik tidak akan terjadi.
Hemat penulis, untuk mengantisipasi terjadinya konflik akibat SKB revisi, ada tiga hal yang mesti dilakukan. Pertama, pemerintah secara proaktif lebih mengedepankan keleluasaan dan kebebasan beragama kepada umat beragama. Wujudnya, tidak mempersulit hal-hal yang sebetulnya sederhana dilakukan. Selain itu, pemerintah mesti menjamin bahwa SKB itu bukanlah alat untuk membatasi dan menciptakan blok-blok agama, tetapi untuk mengatur umat beragama supaya tertib dan nyaman menyelenggarakan kegiatan keagamaannya.
Kedua, memaksimalkan peranan FKUB yang terbentuk sesuai dengan amanat SKB. Wujudnya, intensif melakukan dialog lintas agama untuk menemukan titik temu demi menghindari kesalapahaman dalam melihat agama lain. Keberadaan FKUB, sebetulnya, merupakan langkah strategis jika didayagunakan secara maksimal. Melalui forum inilah, akan terjadi dialog-dialog yang progresif mengenai peranan lebih aktif agama-agama terhadap persoalan sosial yang serius, lebih dari sekedar mendiskusikan soal pendirian tempat ibadah.
Dan, ketiga, membangun kekuatan civil society atas dasar persamaan derajat kemanusiaan dan kebangsaan melampaui dasar-dasar persamaan agama. Jika civil society dapat terbangun, SKB itu sendiri, secara alamiah menjadi “tidak diperlukan.” Umat beragama akan lebih memahami pentingnya kerjasama dan hubungan antar sesama secara harmoni.
Tempat ibadah memang penting, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana kekuatan civil society yang terbangun dari tempat-tempat ibadah itu memberikan hal progresif bagi kehidupan umat beragama secara keseluruhan.
SKB revisi tetap berpotensi menyimpan bom waktu yang setiap saat dapat “diledakkan” oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan kerukunan antarumat beragama di negeri ini terwujud. Merupakan kewajiban kita bersama, sebagai warga bangsa, untuk menjaga kehidupan umat beragama yang harmonis ini. Jangan sampai, SKB yang niatnya baik justru menjadi alat untuk menimbulkan konflik-konflik baru yang lebih mengerikan. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Selasa 25 April 2006

Tidak ada komentar: