Minggu, 12 Agustus 2007

Islam Indonesiawi atau Islam Manusiawi?

Tulisan Zuhairi Misrawi berjudul “Menyemai Islam yang Indonesiawi” di Kompas (17/11) menarik ditanggapi. Pertama, Zuhairi mengambil sampel peristiwa ledakan bom berskala kecil yang terjadi di Kramat Jati, Jakarta Timur, yang rupanya terbukti tidak ada kaitannya dengan jaringan teroris Noordin M Top yang hingga kini masih buron.
Pihak kepolisian secara tegas menyatakan bahwa peristiwa yang hanya melukai beberapa orang, termasuk pelaku, bermotif cari sensasi yang secara kebetulan memanfaatkan momentum kehadiran Bush. Kedua, Zuhairi membenturkan moderatisme dan ekstremisme keagamaan dalam konteks Indonesia. Dan, ketiga, Zuhairi menjadikan “indonesiawi” sebagai hal yang harus disemaikan tanpa menjelaskan secara lebih luas bagaimana ke-indonesiawi-an itu sendiri.
Teror tensi rendah
Sejak kematian Dr Azahari, salah satu gembong teroris selain Noordin M Top, bisa dikatakan intensitas teror dalam bentuk peledakan bom atau sejenisnya menurun. Yang ada hanya ancaman-ancaman yang terbukti tidak sampai mewujud sebesar yang terjadi tiga tahun sebelumnya yang menelan banyak korban jiwa. Bagaimana dengan konflik Poso yang terus membara? Dapat dipastikan, bara yang terjadi di Poso tidak terkait dengan jaringan teroris. Konflik yang terjadi lebih bermula dari persoalan sosial-ekonomi yang timpang, ditambah ketidaktegasan pemerintah menyelesaikan konflik.
Berbagai ancaman bom lebih merupakan teror psikologis untuk memengaruhi orang-orang yang dalam benaknya telah merekam peristiwa-peristiwa mengenaskan yang telah terjadi sebelumnya. Meski begitu, bukan berarti pemerintah boleh bersantai-santai. Harus tetap dilakukan antisipasi kemungkinan yang bakal terjadi. Sayang, pemerintah kita lemah dalam hal ini: tidak mampu mendeteksi atau memperkirakan secara dini teror-teror yang membuahkan peristiwa-peristiwa tragis yang melukai warganya. Dua bom di Bali dan Kuningan tidak hanya membeberkan bukti kuat hal itu, tetapi juga membuktikan lemahnya sistem intelijen (yang profesional) terhadap para teroris (yang tidak profesional, karena lebih berbekal pada keberanian dan keyakinan religius).
Teror bom yang sebelumnya diprediksi muncul dalam skala yang lebih intens dan besar, ternyata hanya teror psikologis untuk merongrong warga agar tetap hidup (seolah-olah) dalam suasana yang mencekam. Para aparatur pemerintah yang bertanggungjawab pun mampu dibuat seolah-olah ada teroris mahabesar di negeri ini. Dr Azahari dan Noordin M Top mungkin kita sepakati sebagai teroris nomor wahid di negeri ini.
Tetapi, benarkah ada jaringan teroris mahadahsyat di Indonesia yang dimanajeri oleh (hanya) kedua orang itu? Jangan-jangan, keduanya hanya ikon yang sengaja diciptakan untuk menegaskan kepada dunia keseriusan pemerintah kita dalam memerangi terorisme. Bom yang meledak di Kramat Jati bukan dalam skala besar, meski itu melukai beberapa orang. Dan, rasanya, terlalu berlebihan menjadikan peristiwa itu sebagai contoh keterkaitan sikap keberagamaan dengan ekstremisme.
Moderatisme vs Ekstremisme: Labelitas?
Moderatisme dan ekstremisme bisa jadi hanya labelitas, kalau tidak malah labelisasi kalangan tertentu, demi kepentingan tertentu pula, yang justru berpotensi menyulut bara psikologi pihak-pihak yang terlabeli semacam itu. Masalahnya akan semakin rumit, bahkan membahayakan, jika keduanya tidak dijelaskan secara tegas disertai dengan batasan-batasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sebab, dalam kenyataan, tidak setiap sikap moderat melulu begitu. Sikap moderat pun bisa bermetamorfosa menjadi ekstremisme, misalnya kelompok Khawarij yang moderat (tidak membela ‘Ali maupun Mu‘awiyah), namun menjadi ekstrim dengan menebar teror buat kedua kelompok itu. Bahkan, ‘Ali berhasil mereka bunuh, sementara Mu‘awiyah yang mampu mencium gelagat buruk kelompok “moderat” ini dapat menghindarkan diri dari pembunuhan seperti yang menimpa ‘Ali.
Demikian pula dengan moderatisme yang bermetamorfosa menjadi ekstremisme, seperti kalangan Wahabi di Jazirah Saudi Arabia. Mulanya, doktrin mereka berjalan di atas manhaj Ahli Sunah (Salafiah), tetapi belakangan godaan politik menyeret kelompok ini memasuki kerajaan dengan hasrat kekuasaan, lalu dengan mesin dan kekuatan politiknya menggusur aliran-aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan, tidak segan-segan, mereka mengklaim yang berbeda pandangan sebagai kafir, murtad, atau sebentuknya.
Dalam konteks Indonesia, kenyataan demikian tidak terlalu sulit ditemui. Labelisasi berbahaya jika disematkan pada suatu kelompok sebelum doktrin pembangun dan lingkup historis serta konteks aktual yang tengah dihadapi tidak dipahami secara baik. Lebih bahaya lagi, labelisasi itu bertujuan untuk unjuk “gagah-gagahan” seakan-akan pelabelnya lebih baik.
Akibatnya, persinggungan antar kalangan yang telah terkotakkan dalam label-label itu kerap kali menjurus pada persinggungan berdarah-darah tanpa pernah terhenti. Labelisasi dalam kajian ilmiah memang perlu untuk memfokuskan kajian. Tetapi, penting diingat, labelisasi ilmiah tetap berpotensi melahirkan stigma-stigma negatif dari satu kalangan pada kalangan lain secara berlebihan yang kadang sulit diajak dialog karena gengsi.
Islam Manusiawi
Indonesia adalah tanah lapang keragaman; baik etnik, budaya, bahkan agama. Sebelum agama (Hindu dan Budha) datang pertama kali memperkenalkan diri pada manusia Indonesia (dulu tanah tak bernama), kehidupan manusia berjalan begitu bersahaja dan sederhana.
Nilai-nilai kemanusiaan begitu menyatu dalam keseluruhan kehidupan masing-masing kelompok. Sayangnya, ketika kesajahaan dan kesederhanaan itu secara tidak langsung menumbuhkan benih-benih penguasa politik (kerajaan-kerajaan) yang bervisi “menguasai” wilayah lain, kemanusiaan kian tergerus. Yang ada, manusia-manusia tak berdosa dikorbankan demi dan untuk ambisi para penguasa.
Mulai Kutai di Kalimantan Selatan, Sriwijaya di Palembang, dan Majapahit di Jawa Timur, aura “memperluas kekuasaan” telah melahirkan kelompok-kelompok minoritas yang secara parsial melakukan rongrongan dan teror, tidak hanya kepada para penguasa, tetapi juga warga yang tak bisa terpantau kekuasaan pusat.
Perlahan, tetapi pasti, kekuatan-kekuatan minoritas itu makin membesar dan mampu melepaskan diri dari kekuasaan pusat yang semakin kurang akomodatif terhadap aspirasi rakyat. Saat ini, sejarah berulang kembali. Hasrat “menguasai” yang lain telah menafikan, bahkan merendahkan sisi-sisi kemanusiaan (humanities). Maka, bukan hal aneh, kekerasan sulit terbendung atau kunjung terselesaikan.
Pangkal dari berbagai persoalan sosial-ekonomi yang akut dan berujung konflik dan teror berdarah-darah, sebetulnya lahir dari makin terendahkannya nilai-nilai kemanusiaan. Dan, Islam sebagaimana agama-agama yang lain, pada titik ini tidak harus diindonesiawikan, tetapi harus dimanusiawikan.
Makna tersiratnya, agama harus menjadi pupuk penumbuh-kembang kemanusiaan yang tergerus, bukan keindonesiaan yang telah terbajak oleh hasrat, nafsu, dan ambisi politik yang ujung-ujungnya kepentingan sekalangan tertentu dengan menistakan kalangan lain. Bukankah akan lebih baik jika tawaran kemanusiaan yang direkomendasikan dibandingkan dengan tawaran keindonesiaan yang multi kepentingan? Wallahu a‘lam.

Duta Masyarakat, Jumat 15 Desember 2006

Tidak ada komentar: