Sabtu, 18 Agustus 2007

Pancasila dan Bangsa Pancasilais

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa ini memperingati hari lahirnya Pancasila. Sebuah momentum, yang seharusnya, menjadi refleksi perenungan segenap komponen bangsa untuk kembali pada falsafah dasar yang telah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa dan negara ini hingga saat sekarang ini.
Sayangnya, momentum 1 Juni sering kali “terlupa” secara tidak sadar atau malah “dilupakan” secara sadar. Bukan hanya momentum itu yang “terlupa” atau “dilupakan”, bahkan Pancasila itu sendiri. Tanpa statistik riil, dipastikan bangsa ini mengenal Pancasila. Tetapi, adakah kepastian bahwa nilai-nilai Pancasila juga dikenal, dipahami, lalu dipraktikkan dalam keseharian?
Untuk kerisauan terakhir, jawabannya dapat bermacam-macam. Sadar atau tidak, bangsa ini sebagiannya telah mempraktikkan dan sebagiannya mungkin tidak. Artikel ini tidak menyuguhkan data statistik atau survey tentang jumlah orang yang mempraktikkan nilai-nilai Pancasila atau tidak. Tetapi, mencoba memotret beberapa fenomena permukaan kekinian yang, tampaknya, telah jauh meninggalkan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila
Pertama, sila ketuhanan yang maha esa. Negara ini bukan negara agama, tetapi negara di mana agama-agama diberikan keleluasaan dan kebebasan untuk hidup harmonis dan berkembang tanpa ada tekanan, teror, atau intimidasi satu agama terhadap agama lain, atas nama agama. Keragaman agama adalah ciri khas bangsa ini yang harus dijaga dan dipelihara, bahkan sampai kapan pun. Upaya-upaya deharmonisasi harus dihindari.
Kedua, sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Bangsa ini, memiliki keadaban yang khas bernafaskan nilai-nilai budaya dan agama. Nilai-nilai itu disatukan oleh persamaan kemanusiaan tanpa tersekat oleh perbedaan agama, ras, suku bangsa, warna kulit, atau lainnya. Karena persamaan inilah, negara harus memperlakukan warga bangsanya secara adil, tidak pilih kasih. Semuanya ditempatkan dalam koridor ketentuan hukum yang sama.
Ketiga, sila persatuan Indonesia. Ijmak Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Pesantren Gontor, Ponorogo, tahun lalu menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai keputusan final. Upaya-upaya disintegrasi bangsa harus dihindari dan dicegah. Tetapi, pengalaman lepasnya Timor Leste (dulu Timor Timur), tuntutan Aceh merdeka (akhirnya tetap di pangkuan negara kesatuan kita), dan beberapa wilayah di Papua yang berbatasan dengan Papuan Nugini menghangat dan diam-diam hingga kini terus menyuarakan perjuangan untuk kemerdekaan Papua, menjadi bukti masih rawannya bangsa ini terpecah-belah.
Keempat, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Inilah landasan berdemokrasi di negeri ini. Segala keputusan harus dilandasi oleh hikmat atau kebijaksanaan dalam suatu musyawarah yang mempertemukan berbagai elemen bangsa untuk tujuan kemaslahatan bersama ke depan. Bukan untuk kemaslahatan kelompok atau pihak-pihak tertentu, sementara yang lainnya dirugikan.
Dan, kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa pun kebijakan yang dilahirkan negara, harus berorientasi pada tercapainya keadilan sosial. Keadilan paripurna yang jelas-jelas pro-rakyat, bukan pro-konglomerat atau pro-kelompok-kelompok tertentu. Namun, beberapa kenyataan di hadapan kita menyuguhkan belum tercapainya hal itu. Di sana-sini masih banyak dijumpai kemiskinan, kemelaratan, pengangguran, dan penderitaan. Belum lagi ditambah dengan kejahatan korupsi yang merugikan negara dan warga bangsa yang belum teratasi secara tuntas.

Bangsa Pancasilais
Utopiskan mendambakan terciptanya bangsa yang Pancasilais sejati, dalam pengertian, bangsa mulai dari elit atas hingga lapisan terbawah, menjujung tinggi nilai-nilai Pancasila lalu mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari? Saat yang sama, semakin tumbuh mekarnya kelompok-kelompok yang menyuarakan dasar negara Pancasila diganti dengan yang lain karena dianggap sudah tidak mempercayai dasar ini untuk membangun bangsa ke depan?
Mimpi mewujudkan bangsa Pancasilais bukan sesuatu yang utopis. Ia bisa diciptakan dengan tekad bulat kolektif segenap komponen bangsa dalam aksi nyata. Negara memosisikan diri sebagai pelayan bukan pemeras dan penindas rakyat, sementara rakyat mengokohkan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan dengan kesetiaannya. Demokrasi berdasar sila keempat berjalan secara baik hingga sila kelima terwujud nyata.
Dasar negara Pancasila telah disepakati bersama dan, tampaknya, tidak ada pilihan lain untuk konteks Indonesia. Sila demi sila merepresentasikan gambaran cita-cita dan harapan bangsa ke depan yang lebih progresif. Namun, cita-cita dan harapan itu bisa sirna jika masyarakat Pancasilais tidak kunjung tercipta akibat berbagai kebijakan pemerintah yang kerap kali keliru dan kontra dengan kepentingan rakyat.
Pancasila adalah visi ke depan bangsa tetapi sering kali bangsa ini melalaikan dan melupakan visinya sendiri. Akibatnya, visi yang diusung Pancasila hanya ada dalam alam bawah sadar. Dalam praktiknya, bangsa ini tidak lebih hanya menerapkan tujuan-tujuan jangka pendek pragmatis. Langkah urgen yang harus segera dilakukan, melihat kembali, memikirkan, merenungkan, lalu mengejawantahkan visi itu secara komprehensif. Jika ini dilakukan, masyarakat bangsa Pancasilais otomatis akan terbentuk. Visi negara Pancasila akan mewujud. Semoga.

Pelita, Senin 25 Juni 2007

Tidak ada komentar: