Minggu, 12 Agustus 2007

Humanisasi Tafsir Agama

Hingga saat ini belum ada yang sepakat dalam hal pendefinisian agama. Kesulitan ini, misalnya diakui oleh Jalaluddin Rakhmat, seperti yang ia tulis dalam bukunya, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Menurutnya, agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai dengan pengalaman dan penghayatannya pada agama yang dianutnya.
Ia mengambil contoh definisi yang dilakukan oleh Mukti Ali yang menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa dan hukum-hukum yang diwahyukan kepada kepercayaan utusan-utusan-Nya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Ia mengkritik bahwa Mukti Ali tidak sedang berbicara tentang agama dalam pengertian umum. Tapi, ia sedang mendefinisikan agama seperti yang dilihatnya dalam agama Islam.
Itulah kesulitan yang Jalaluddin sebut sebagai kesulitan etnosentrisme. Agama selalu dipandang sesuai dengan sudut pandang subjektivitas penganutnya masing-masing. Selain etnosentrisme, lanjut Jalaluddin, definisi tentang agama juga tidak pernah komprehensif. Definisi hanya menangkap sebagian dari realitas agama. Definisi adalah batasan. Padahal, agama itu sendiri tidak terbatas. Agama sangat kompleks.
Jalaluddin—dengan mengutip beberapa pengkaji agama—menyebutkan beberapa contoh, antara lain Leuba, penulis buku klasik psikologi agama, The Psychological Study of Religion. Ia mengumpulkan hampir 48 definisi agama. Ia menunjukkan bahwa definisi agama selalu bersifat satu sisi, parsial, dan tidak mencakup semua. Ia lalu menyimpulkan bahwa definisi agama terdiri dari tiga kategori: intelektualistik (menegaskan kepercayaan), voluntaristik (menekankan kemauan), dan afektivistik (menyangkut perasaan).
Untuk mengatasi kompleksitas agama ini, The Encyclopedia of Philosophy mendaftar komponen-komponen agama. Ia menyebutnya sebagai characteristic features of religions: pertama, kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan). Kedua, pembedaan antara objek sakral dan profan.
Ketiga, tindakan ritual yang berpusat pada objek sakral. Keempat, tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan. Kelima, perasaan yang khas agama, yang cenderung bangkit di tengah-tengah objek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan. Keenam, sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan.
Ketujuh, pandangan dunia atau gambaran umum tentang dunia secara keseluruhan dan tempat individu di dalamnya. Kedelapan, pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh, yang didasarkan pada pandangan dunia tersebut. Kesembilan, kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas.
***
Artikel ini tidak dimaksudkan untuk memperpanjang lagi daftar wacana tentang definisi agama lengkap dengan perdebatan yang ada di dalamnya. Akan tetapi, artikel ini mencoba melihat agama dalam formatnya yang sudah paketan dan ia memiliki dua dimensi yang berbeda, dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Atau, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit dan Wahyu di Bumi.
Agama ketuhanan artinya bahwa agama diyakini oleh semua penganutnya berasal dan diturunkan oleh Tuhan. Adapun soal cara dan bagaimana ajaran itu sampai kepada umatnya, sangat terkait dengan persoalan keyakinan (batin).
Umat Islam, misalnya, mereka meyakini bahwa ajarannya berasal dari Tuhan melalui wahyu yang disampaikan-Nya kepada Muhammad sang nabi. Itu keyakinan batin. Bukan keyakinan rasio. Rasio pada titik ini hanya mampu memberikan penjelasan filosofis tentang proses yang memungkinkan atau sebaliknya terhadap hal itu.
Agama kemanusiaan artinya bahwa agama sudah menjadi satu fenomena. Agama telah menyejarah dan dipraktikkan oleh para penganutnya dengan beraneka ragam corak dan bentuknya. Agama menjadi fakta sosial.
Agama telah membumi menyatu dengan setiap relung kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, agama sudah tidak lagi profan (karena sudah menjadi fenomena sosial). Pada mulanya memang ia sakral (dianggap berasal dari Tuhan, hasil cipta Tuhan yang khusus untuk membimbing umat manusia).
Agama kemanusiaan memiliki konsekuensi dan implikasi yang tidak sederhana. Agama dalam tataran ini bisa diperdebatkan kebenarannya. Agama bisa ditafsirkan dengan aneka ragam tafsir tergantung sudut pandang masing-masing orang.
Bagi kalangan teolog, misalnya, agama dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan oleh karena itu harus ditafsirkan secara leksikal, persis seperti yang wahyu katakan. Jika berseberangan, maka itu merupakan bentuk penyelewengan dan kesesatan. Orangnya dianggap murtad atau kafir.
Namun, lain halnya bagi kalangan filsuf. Agama tidak sesederhana yang dibayangkan oleh para teolog. Agama bisa dimasukkan dalam gelanggang perdebatan wacana intelektual. Agama bisa ditelisik dan dipahami secara kritis. Agama tidak lagi sakral, tapi sudah profan, menyatu dengan praktik alami manusia. Kalangan filsuf lebih melihat agama dengan upaya penggalian makna terdalam agama itu sendiri secara kritis. Konsekuensinya, agama bisa digandrungi orang, tapi bisa pula dicampakkan.
***
Dari berbagai sisi, agama bisa dipandang. Namun ada satu hal yang tidak bisa dipungkiri bersama. Agama diyakini oleh umatnya masing-masing sebagai ajaran Tuhan untuk manusia. Ia diturunkan Tuhan untuk membimbing manusia di jalan yang benar. Bagaimana jalan yang benar itu didefinisikan? Sangat beraneka ragam. Itulah tafsir atas agama.
Persoalannya adalah bagaimana menjamin bahwa sebuah tafsir terhadap agama itu benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan. Tak ada yang bisa menjamin itu secara mutlak. Lalu bagaimana untuk menyelesaikan hal ini?
Dan terbukakah peluang untuk secara bebas dan aktual menerjemahkan agama dalam konteks kekinian? Dengan kata lain, terbukakah peluang bagi adanya tafsir kemanusiaan yang mengakomodasi berbagai format kemaslahatan manusia? Pertanyaan lanjutan, kenapa agama harus ditafsir dari sudut pandang manusia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa alasan yang perlu dikemukakan terlebih dulu. Pertama, agama sejatinya sudah Tuhan tetapkan untuk manusia. Oleh karena itu, tafsir terhadap agama juga mesti diorientasikan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Agama memang milik Tuhan, tetapi sudah Ia berikan untuk manusia. Tuhan sudah memandatkan agama-Nya untuk manusia. Manusialah yang pada akhirnya harus menerjemahkan agama Tuhan itu sendiri.
Kedua, banyaknya tuntutan manusia untuk mengambil jawaban dari agama. Berbagai persoalan hidup diyakini dapat diselesaikan dan ditemukan jawabannya oleh agama. Oleh karena itu, pada sisi ini agama memiliki posisi tawar yang sentral. Ia sumber harapan manusia. Agama adalah jawaban. Oleh karenanya, agama akan banyak diminati orang jika dihadirkan dengan wajah tafsir yang santun, dan mampu memberikan jawaban yang tepat terhadap segala problem kemanusiaannya.
Maka, dalam sisi ini, upaya menghadirkan tafsir agama yang lebih humanis penulis pandang sangat urgen. Terlebih, agama saat ini banyak diklaim orang sebagai sumber inspirasi maraknya berbagai tindak kekerasan.
Agama sering dijadikan alasan pembenaran terhadap berbagai tindak kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Agama juga sering ditafsir demi kepentingan kelompok tertentu. Berbagai label terhadap agama kerap muncul. Ada misalnya sebutan Agama Teror. Yaitu agama (lebih tepatnya tafsir agama) yang mengabsahkan teror terhadap kelompok lain mengatasnamakan agamanya.
Tafsir penuh kekerasan dan kebencian tentu bukanlah yang diinginkan Tuhan. Sebab, apa gunanya Tuhan menurunkan agama hanya untuk menimbulkan aneka kekacauan dan permusuhan di antara manusia. Agama pastinya Tuhan turunkan demi dan untuk melindungi kemaslahatan umat manusia.
Oleh karena itu, humanisasi tafsir agama merupakan jawaban terhadap amanat Tuhan yang tak terbantahkan. Agama memang milik Tuhan, tapi, agama sudah Tuhan peruntukkan untuk manusia. Manusia yang menikmati berkah agama itu. Wallâh a‘lam.

Duta Masyarakat, Jumat 20 Mei 2005

Tidak ada komentar: