Sabtu, 18 Agustus 2007

Perempuan Terjebak Industrialisasi Media?

Perempuan dalam iklan merupakan satu dari sekian banyak fenomena menarik di negeri ini. Menarik tidak hanya dilihat dari sisi negatif, tapi juga dari sisi positifnya. Akan makin menarik ketika fenomena ini dikaitkan juga dengan 21 April lalu (meski sudah lewat), hari Kartini. Sosok wanita pejuang yang membongkar habis tradisi marginalisasi perempuan di ruang publik, lewat surat-surat bombastis pemikiran emansipasinya.
Pertanyaannya adalah apakah fenomena perempuan dalam iklan media merupakan salah satu dari sekian banyak model kebangkitan perempuan yang diprakarsai—salah satunya—oleh Kartini? Atau justru sebaliknya? Fenomena itu merupakan anti-klimaks yang menempatkan perempuan dalam penjara baru bernama media? Apakah hal itu merupakan bagian dari buah emansipasi yang begitu dahsyat?
Kartini lahir dalam lingkup keluarga ningrat di Jepara. Ia hidup dalam kungkungan budaya patriarki yang sangat kuat. Perempuan kala itu dipingit habis-habisan. Tidak ada kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam indahnya pergaulan di luar rumah. Perempuan hanya dan harus di rumah, melayani suami.
Jiwa Kartini tentu saja berontak hebat. Di dalam kamar pribadinya, gagasan-gagasan progresif emansipasinya mengalir deras tak terbendung. Surat-suratnya, yang kemudian dibukukan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, mampu menembus tembok budaya negatif bagi kaum perempuan yang sudah demikian akutnya. Memberi cahaya terang dalam alam gelap kelam perempuan. Menjadi matahari yang mengahalau gelap malam. Fajar pembebasan perempuan telah terbit. Demikian kira-kira maksudnya.
Emansipasi Kartini menghendaki kesetaraan dan kehidupan yang wajar bagi perempuan sebagaimana halnya laki-laki. Karena, setiap orang sejatinya memiliki hak untuk hidup dalam lingkup pergaulan dengan masyarakatnya. Setiap manusia memiliki hak juga untuk mengapresiasikan kemampuannya masing-masing tanpa terpenjara oleh satu bentuk budaya yang tidak adil menempatkan manusia.
Perempuan menurut Kartini memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk berbuat banyak hal dalam hidup dan kehidupannya. Mereka bisa memola arah gerak dan tujuannya ke depan. Mereka bisa menjadi mitra laki-laki, pun bisa menjadi rival dalam persaingan yang sehat. Strata sosial perempuan sama dengan laki-laki. Perbedaan biologis menurut Kartini adalah hal yang wajar, tapi itu bukanlah pembeda prinsipil dalam ranah pergaulan sosial yang bisa dijadikan alasan kelemahan perempuan dibanding laki-laki.
Mengekspresi dan memberdayakan perempuan dalam berbagai bidang yang mereka mampu, adalah cita-cita ke depan Kartini. Namun pun demikian, Kartini tidak melupakan bahwa dalam pergaulan sosial ada etika yang mesti dijaga oleh masing-masing pihak. Perempuan dengan kelemah-lembutannya, selain merupakan pesona tersendiri bagi kaum adam, juga menjadi tantangan tersendiri untuk dikontrol.
Emansipasi yang Kartini inginkan adalah dalam bentuk kerjasama beretika. Budaya Jawa, tempat ia terlahir hingga meninggalnya, adalah budaya penuh sopan santun dan tatakrama. Kepatuhannya kepada orang tua, merupakan bukti betapa ia sangat menghargai budaya sopan santun. Ia tidak ingin kaum perempuan mengumbar tubuhnya atas nama emansipasi. Kartini berkeinginan agar perempuan mampu memberdayakan dirinya dengan tetap berpegang teguh pada etika kodratiahnya sebagai perempuan.
***
Membaca Kartini dikaitkan dengan fenomena perempuan dalam iklan di media sangat relevan. Kenyataan positif bahwa mereka bisa melakukan hal yang sama dengan laki-laki, terutama dalam media, merupakan prestasi luar biasa. Kartini telah mampu melahirkan perempuan-perempuan pejuang yang mereka buktikan dalam media yang cakupannya sangat luas.
Namun sangat disayangkan. Ada sebagian (besar) perempuan yang mementaskan dirinya di media, tapi itu justru merendahkan dirinya sendiri. Tubuh dieksplorasi habis-habisan demi kepentingan media. Tujuan mulia unjuk kemampuan perempuan di pentas sosial berubah menjadi ajang pelecehan terhadap mereka, tanpa mereka sadari.
Kenapa ini terjadi? Jawabannya adalah bahwa mereka telah terjebak dan menjadi korban industrialisasi dan komersialisasi media. Mereka merasa bangga dalam berekspresi, tapi sebetulnya kembali terpenjara dalam ruang-ruang baru bernama media. Berhati-hatilah kaum perempuan. Wallâh a’am.

Duta Masyarakat, Sabtu 7 Mei 2005

Tidak ada komentar: