Selasa, 14 Agustus 2007

Mencairkan Hegemoni Nalar Pemikiran Fikih

Umat Islam saat ini cukup beruntung karena diwarisi puluhan, bahkan ratusan karya ulama-ulama klasik dalam berbagai bidang, seperti tafsir, teologi, fikih, tasawuf, dan filsafat. Karya-karya dalam bidang itu, saat sekarang ini, sebagian besarnya malah menjadi rujukan untuk menentukan arah gerak dan pola pikir kaum Muslimin di dalam menghadapi realitasnya.
Karena itu, wajar kalau kemudian muncul perbedaan pandangan dalam menyikapi sebuah persoalan. Itu adalah akibat dari adanya perbedaan dalam mengambil dan memilih referensi-referensi tersebut. Satu hal yang ‘lumrah,’ pada mulanya. Namun, hal itu bisa menjadi ‘tidak lumrah’ ketika justru muncul upaya-upaya pemaksaan dan atau intimidasi, juga teror terhadap pemikiran-pemikiran lain yang baru dan berbeda dengan yang telah mereka rujuk.
Ada satu hal yang cukup menarik dan masih sangat relevan menjadi bahan diskusi dalam konteks kita saat ini berkenaan dengan karya-karya ulama klasik tersebut, yaitu adanya kecenderungan pada para pemikir agama (ulama) untuk menampilkan Alquran dan tradisi (baca: hadis atau sunnah nabi) dalam kehidupan nyata.
Dalam kata lain, para ulama masih memiliki semangat yang luar biasa untuk mengejawantahkan ajaran Tuhan—baik dalam bentuk Alquran ataupun hadis—untuk menyelesaikan segala problematika hidup dan kehidupan umat manusia.
Namun, ada hal yang patut disayangkan, kebanyakan para pemikir itu hanya menggunakan satu paradigma atau satu model pemikiran sebagai dasar pijakan dalam menyelesaikan persoalan. Kurang mempertimbangkan model-model lain yang hakikatnya bisa diberikan ruang yang sama untuk ikut aktif dan terlibat guna memberikan kontribusi positifnya.
Akhirnya, paradigma itu terkadang begitu hegemonik. Lebih parah lagi, paradigma-paradigma di luarnya kurang diberikan tempat yang layak, kalau tidak malah 'disingkirkan.' Paradigma hegemonik yang dimaksud adalah paradigma pemikiran fikih. Yaitu, paradigma pemikiran-pemikiran yang berkonsentrasi, berorientasi, dan terfokus pada jurisprudensi hukum-hukum syariat Islam yang sifatnya aplikatif dalam kehidupan kaum Muslimin yang telah mukallaf.
Semua itu diangkat dari sumber-sumber primer ajaran Islam: Alquran dan hadis/sunnah nabi dengan detil (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, h. 11) yang telah dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum halal, haram, mubah, sunnah, dan makruh. Kaidah-kaidah ini, meskipun tidak secara gamblang formal ditampilkan dalam penafsirannya, namun itu muncul saat menjadi konklusi dari apa yang ditafsirkan.
Malah, ada sebagian dari ayat-ayat Alquran yang semestinya ditampilkan pada konteks toleransi dan kasih sayang, justru digunakan sebagai bahan justifikasi (penghukuman) terhadap apa yang semestinya tidak dilakukan. Ketika justifikasi ini dimunculkan, maka itu sebetulnya tiada lain adalah satu model paradigma fikih.
Pendek kata, pemikiran fikih lebih merupakan the control of Islamic laws. Maka, konsekuensinya, fikih mesti berada dalam koridor formal ajaran, atau mesti berangkat dan mengambil sumber-sumber primer yang jelas-jelas valid (shahih). Karena itu pula, pemikiran fikih selalu dalam bingkai atau kacamata hitam-putih, halal atau haram, untuk segala perilaku umatnya.

Karya sebagai respon
Hampir sebagian besar karya yang para ulama buat terlahir sebagai bagian dari upaya menafsirkan ajaran agama untuk dipersentuhkan dengan sisi-sisi kehidupan manusia di mana sang penafsir hidup, dengan sedikit banyak mencoba berandai-andai tentang perilaku umat di masa-masa berikutnya.
Karena itu, ada corak-corak penafsiran yang dilakukan oleh ulama-ulama klasik, disesuaikan dengan kondisi dan situasi saat ia hidup, atau problem yang sedang mereka hadapi. Bahkan kondisi yang memaksa ulama untuk menulis karya itu. Dengan lain kata, ada proses dialektika intensif antara subjek dengan objek, penafsir dengan yang ditafsirkan.
Malik bin Anas, ulama populer ranah Madinah, misalnya, yang juga ulama hadis, fakih (ahli fikih) menulis kitab Al-Muwattha’ yang nampak bercorak tradisionalis, karena ia hidup dalam lingkungan Madinah sehingga sedikit banyak masih mewarisi tradisi kuat masa dan pasca Nabi Muhammad meninggal. Karena itu salah satu cirinya utama pemikirannya adalah pemikiran tradisionalis.
Berbagai persoalan hidup selalu diselesaikan dengan tradisi masyarakat Madinah jika memang ada, karena beliau beranganggapan bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat yang secara psikologis dan sosiologis masih ada hubungan erat dengan kehidupan Nabi. Salah satu jargon cukup populer dari Imam Malik adalah bahwa Ijmak (konsensus) penduduk Madinah dapat dijadikan sebagai sumber hukum utama.
Kemudian, Imam Abu Hanifah, salah satu tokoh ahli fikih yang hidup di daerah Kuffah (Irak saat ini) juga memiliki corak pemikiran yang berbeda dengan Imam Malik. Persentuhannya dengan pemikiran Filsafat telah melahirkan dirinya bercorak pemikiran rasionalis. Akal menjadi ukuran utama dalam menafsirkan ajaran Islam.
Tradisi yang ia terima, menurutnya, tidak akan dapat berbuat banyak kecuali jika hanya dipahami dengan rasio yang benar. Tradisi hanya akan menjadi bahan tertawan dan celaan ketika dihadapkan dengan tradisi kuat filsafat di daerah itu. Namun begitu, Imam Abu Hanifah tidak serta merta secara mutlak meninggalkan tradisi, dia hanya berupaya agar tradisi itu dicermati dengan cerdas. Tujuannya tiada lain agar hukum fikih dapat dirasionalisasikan.
Lalu, Imam As-Syafii yang dikenal sebagai salah satu dari sekian banyak ulama yang dianggap moderat (jika merujuk pada dua buah model pemikiran yang berbeda: model pertama ketika beliau di Irak disebut dengan qaul qadim, dan model pemikiran kedua, ketika dia hidup di Mesir, disebut sebagai qaul jadid). Apa yang dilakukan oleh Imam As-Syafii adalah salah satu bentuk moderasi ajaran, karena konteks yang dia hadapi telah jauh berbeda.
Dan, Imam Ahmad bin Hanbal yang dikenal sebagai peletak dasar pemikiran fundamentalis dalam fikih. Pemikiran ini lahir karena pergulatan yang cukup alot dengan kalangan Muktazilah yang kala itu menjadi mazhab pemerintah yang sah. Akibatnya, dia merasa bahwa ajaran otentik Nabi telah direduksi ke dalam alam pikiran bawah sadar.
Bahkan mulai—sedikit demi sedikit—terlupakan oleh karena pengaruh pemerintah yang menekan kalangan ahli hadis. Karena itu, satu karya monumental yang menjadi bahan rujukan hingga saat sekarang ini adalah kitab Musnad yang mencakup hadis-hadis Nabi lewat periwayatan sahabat-sahabat Nabi.

Hasil atau metodologi?
Dengan melihat corak-corak pemikiran para ulama masa lalu, sebenarnya apa yang dapat kita ambil untuk kita saat ini? Apakah hasil pemikirannya, ataukah bagaimana metodologi yang mereka gunakan ketika ajaran agama yang mereka warisi betemu dengan arus pemikiran yang berkembang di masanya? Hal ini menjadi penting agar tidak terjebak pada pemikiran fikih yang kaku.
Karena kita—dengan warisan metodologi itu—bisa memproduk atau mendaur ulang kembali produk-produk masa lalu, ketika konteks kita berubah. Namun tidak banyak yang melakukan hal ini, dengan alasan kemapanan. Hukum-hukum fikih, sejak masa dibentuknya oleh para ulama dianggap telah final, dan pasti akan tetap relevan dengan situasi saat ini. Produk fikih, menurut anggapan kalangan ini, telah mapan dan tidak perlu direformasi.
Kalau jawaban untuk pertanyaan yang pertama adalah hasilnya, maka itu artinya sama dengan kita menarik diri dan masa saat ini, kepada suatu masa lalu yang sedikit banyak sudah tidak sama dengan saat ini. Dalam arti lain, kita telah menghadirkan kembali masa lalu kedalam masa sekarang. Itu artinya sama dengan membutakan mata terhadap realitas saat ini. Padahal hasil pemikiran ulama klasik adalah respon terhadap kenyataan yang mereka hadapi, dan tidak menuntut kita untuk sama dengan pemikiran mereka.
Itu akan makin jelas terlihat ketika kita mencoba membuka dan menelaah karya-karya yang mereka torehkan, tidak ada yang menganggap bahwa pemikiran mereka adalah yang paling benar dan final, atau ungkapan yang menyatakan bahwa hasil-hasil pemikirannya mesti diikuti oleh murid-murid-nya.
Justru yang kita temukan adalah ungkapan yang cukup toleran, “Apabila ada pemikiran yang lebih baik dari pemikiranku, maka aku akan ikuti.” Maka sungguh terasa miris kenyataan yang kita hadapi saat ini. Di mana ada pemaksaan terhadap pemikiran tertentu, dengan menyalahkan pemikiran lain, yang sebetulnya lebih baik.
Kalau yang dipandang adalah metodologinya, maka terlihat bahwa antara masing-masing ulama memiliki metode (manhaj) yang beragam; ada yang menggunakan metode tradisionalis, moderat, dan rasionalis. Dalam ranah pemikiran, semua itu adalah absah, karena metode yang ada adalah rumusan pemikiran yang dihasilkan oleh para pemikir sesuai dengan kondisi yang sedang dia hadapi. Namun yang jadi persoalan adalah ketika metode itu sudah tidak mampu untuk menghadapi problem kontemporer, apakah kita akan tetap mempertahankan ataukah mencoba mencari alternatif lain?
Berbicara metodologi, maka sebenarnya tidak ada satupun metode yang baku. Metode selalu berkembang sesuai dengan kemampuan manusia untuk merumuskan persoalan yang diha-dapi dengan—tentunya—horison-horison ilmu pengetahuan yang dia miliki.
Artinya, metode akan selalu memberi ruang yang luas untuk dikembangkan dan disempurnakan terus-menerus—bahkan kalau perlu dibongkar—untuk diganti dengan metode yang lebih manusiawi.
Salah satu kesalahan fatal yang sering dilakukan adalah menganggap bahwa pemikiran Islam dan metodologinya, telah final sejak zaman ulama-ulama klasik. Karena itu, terkadang, poblem-problem yang dihadapi sering menjadi sesuatu yang terpinggirkan oleh karena kekuasaan ulama-ulama klasik.
Sehingga ketika bermunculan metode-metode baru, itu dianggap sebagai metode asing yang tidak pernah ada di zaman Nabi dan ulama-ulama klasik. Akhirnya pemikiran baru dianggap kurang dapat dipercaya dan cenderung disesatkan untuk memahami ajaran Islam.
Orang kemudian malah jauh terlena dan asyik dengan ijtihad fikih di masa lalu, tanpa mengkritisi lebih jauh. Parahnya paradigma berpikir fikih menjadi satu-satunya sarana—yang dianggap absah—untuk menafsirkan Islam. Akhirnya ajaran otentik (Alquran dan hadis) yang sejatinya adalah korpus terbuka—meminjam istilah Mohammed Arkoun—tereduksi dan berubah menjadi korpus tertutup (eksklusif). Pemikiran-pemikiran yang berprespektif lain terkadang menjadi tidak absah, hanya fikih yang harus diterima. Ini tentu hal yang ironis terjadi.
Fikih hegemonik dengan demikian tidak saja berpotensi mengerdilkan pemikiran, tapi lebih jauh dari itu, ia akan menyeret ajaran Islam pada tataran hukum yang problematis, tapi kurang solutif untuk menyelesaikan persoalan hidup. Paradigma pemikiran fikih yang hegemonik harus terus-menerus dicairkan agar ajaran Islam kembali pada otentitisitasnya yang inklusif, dan menjadi lebih humanis Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Jumat 9 September 2005

Tidak ada komentar: