Sabtu, 18 Agustus 2007

Momentum Kebangkitan Nasional: Belajar dari Sejarah untuk Visi Kebangsaan

Setiap 20 Mei, bangsa ini teringatkan dengan momen bersejarah di mana perjuangan bangsa yang bervisi kebangsaan melintasi wilayah-wilayah kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan. Budi Utomo (berdiri pada 1908), dengan tokoh sentralnya Dokter Wahidin Sudirohusodo dan Soetomo, adalah organisasi pergerakan nasional pertama yang bervisi ini. Walau, lingkupnya, waktu itu, masih sangat terbatas. Kerja praksisnya pun lebih mengedepankan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Tetapi, menariknya, pembangunan SDM itu memiliki visi masa depan yang sangat progresif.
Pertanyaan yang relevan dikemukakan saat ini adalah sejauh mana cita-cita dan visi kebangsaan yang dulunya menggelora dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini. Wacana nasionalisme versus imperialisme, tampaknya, bukan lagi wacana yang dominan, setidaknya pasca kemerdekaan Indonesia. Visi kebangsaan saat ini lebih dititikberatkan pada persoalan pembangunan bangsa yang lebih berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, momentum kebangkitan bangsa akan jauh lebih relevan jika dikaitkan dengan hal ini.

Belajar dari sejarah pasca-kemerdekaan
Puluhan tahun yang silam, Bung Karno pernah mengatakan, “jasmerah!” yakni jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebuah pesan untuk bangsa ini di awal mula pembentukannya. Pesan kepada bangsa untuk menghargai sejarahnya secara adil. Karena, selalu ada pesan mulia dari setiap detik perjalanan bangsa ini di masa lalu sebagai bahan pelajaran dan permenungan di masa yang akan datang.
Bangsa ini, dari mulai diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, mengalami dinamika pasang-surut yang sangat unik. Berbagai sistem demokrasi telah dicoba. Mulai dari demokrasi terpimpin (parlementer) hingga liberal (presidensial). Arah pembangunan bangsa pun telah mengalami banyak perubahan seiring gonta-ganti kabinet seumur jagung oleh penguasa Bung Karno. Pertumbuhan ekonomi, di awal-awal kemerdekaan, sangat sulit merangkak.
Kebijakan pro-sosialis dan anti-kapitalis ala Bung Karno, membuat bangsa ini semakin terseok. Dunia Barat mengucilkan Indonesia. Poros Jakarta-Peking, sebagai wujud sikap anti-Barat, bukannya membuat bangsa ini menapak ke kehidupan yang lebih baik, justru membuat sendi-sendi kehidupan berbangsa ini kacau tak menentu arah. Walau, harus diakui, kebijakan anti-kapitalis ini bukan tanpa alasan mendasar. Imperialisme Barat selama ratusan tahun menggugah kesadaran dan nasionalisme bangsa ini untuk bersikap antipati terhadap Barat yang membawa ideologi kapitalistik imperialistik.
Namun, kebijakan yang pro-sosialis rupanya menjadi pilihan pahit bangsa. Di sisi lain, bangsa ini terlalu menitikberatkan persoalan politik daripada ekonomi. Retorika-retorika politik menjadi andalan bangsa ini daripada melihat sektor ril pembangunan ekonomi yang merangkak sangat pelan. Demokrasi multipartai, memang bersemai secara semarak. Tetapi, multipartai itu masih belum menunjukkan gigi-gigi kritisnya secara signifikan karena kuatnya kekuasaan seorang figur bernama Bung Karno. Dekrit presiden 5 Juli 1959 adalah contoh nyatanya.
Namun, akibatnya, demokrasi terpimpin ala Soekarno akhirnya tidak kuasa menahan tuntutan rakyat yang menghendaki partisipasi rakyat secara total dalam menentukan arah kebijakan bangsa ke depan, bukan hanya di tangan Soekarno. Peristiwa G/30/S-PKI menjadi awal petaka Soekarno dan bagi perubahan radikal dalam sistem demokrasi di negeri ini. Soekarno semakin di ambang keruntuhannya saat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), 1966, yang diberikan kepada Soeharto ternyata “disalah-gunakan” untuk memukul balik dan menggulung “rezim” yang telah lama berkuasa itu.
Soekarno dilengserkan dari tahta kekuasaannya secara “politis” oleh elite-elite politik dengan “sedikit” bantuan militer yang sudah tidak loyal lagi pada Soekarno. Tidak hanya itu, demonstrasi dari para aktivis kampus, dan rakyat, semakin memperlemah kekuatan Soekarno untuk lebih lama lagi berkuasa. Demokrasi terpimpin ala Soekarno akhirnya runtuh diganti dengan demokrasi ala Soeharto. Dua model demokrasi yang bertolak belakang secara teoritis namun dalam praktis tidak jauh berbeda.
Demokrasi ala Soeharto menamakan dirinya sebagai “rezim” Orde Baru (Orba) untuk membedakannya dengan demokrasi ala Soekarno, yang juga disebut dengan Orde Lama (Orla). Kebijakan pro-sosialis dianggap menjadi biang kerok terpuruknya ekonomi bangsa. Juga, menjadi biang kerok bagi hancurnya tatanan demokrasi Pancasila dalam sistem politik nasional. Wujudnya, Partai Komunis Indonesia (PKI) didaulat secara kolektif sebagai “penjahat politik” yang tak termaafkan dan harus dimusnahkan dari bumi nusantara.
Orba membuka keran demokrasi yang lebih pro-kapitalis (Barat). Percepatan pembangunan di sektor ekonomi perlahan merangkak naik. Investasi modal asing mulai masuk berduyun-duyun seiring jaminan politik yang menjanjikan dan berprospek cerah. Sektor pertanian dan perkebunan menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa bagi percepatan ini. Orba telah membuktikan “janjinya” untuk membawa ekonomi bangsa ke tingkat yang lebih baik. Bahkan, atas “jasa-jasanya” bangsa ini pernah diramal bakal menjadi “macan Asia” yang menggetarkan.
Namun, di balik pertumbuhan ekonomi yang semakin menguat signifikan, demokrasi politik tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan oleh rakyat. Sistem multipartai direduksi menjadi hanya tripartai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Demokrasi multipartai yang terjadi di tahun 1977, berakhir dan hanya menjadi kenangan di masa-masa kemudian.
Orba, belajar dari masa lalu, menggaet kekuatan militer untuk “misi terselubung” ini. Militer terkooptasi secara politis guna melanggengkan kekuasaan, yang itu tidak dilakukan sebelumnya oleh Soekarno. Sebuah kesalahan fatal Soekarno yang dijadikan pelajaran oleh Soeharto. Terbukti, galangan kekuatan politik plus militer yang melanggengkan kekuatan Soeharto, mampu bercokol selama lebih dari 30 tahun sebelum akhirnya diruntuhkan oleh kalangan reformis di tahun 1998 lalu.
Demokrasi ala Soeharto, terbukti tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Hanya saja, Soeharto cukup cerdik meramu “demokrasi terpimpinnya” dalam bungkus demokrasi Pancasila. Rakyat terbuai dengan kemajuan ekonominya. Kurs rupiah sangat tinggi terhadap dollar. Tidak disangka, itu semua hanya untuk menutupi sebuah rezim “totaliter-korup” yang terbungkus rapi dan terkuak secara lebar pasca-runtuhnya rezim Soeharto. Demokrasi reformasi menjadi kata final untuk memperbaiki kondisi bangsa yang telah mengalami masa-masa sebelumnya.
Krisis ekonomi dahsyat tahun 1997-1998 yang menerpa belahan bumi Asia, rupanya menjadi kabar buruk bangsa ini yang sedang menggonjang-ganjing kekuasaan Soeharto. Soeharto runtuh, ekonomi yang dibangunnya tidak kuasa menahan terpaan badai krisis yang melanda. Kurs rupiah terus melemah terhadap dollar, hingga mencapai angka tertingginya, yakni Rp 16.000 perdollar, pada awal masa Presiden Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie.
Masa terus berganti, dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Lima penguasa di negeri ini, memiliki cerita baik dan buruknya masing-masing. SBY lahir sebagai presiden pilihan rakyat yang pertama. Kekuatannya adalah kekuatan rakyat. Karena itu, SBY sudah seyogyanya pro-rakyat, bukan yang lainnya. Demokrasi reformasi mengamanatkan bahwa kekuasaan harus pro-rakyat. Ini sebetulnya sudah dari dulu didengungkan lewat demokrasi Pancasila. Tetapi, nilai-nilai demokrasi Pancasila tidak diekplorasi secara serius.
Kekuasaan SBY adalah juga kekuasan rakyat. Belajar dari sejarah bangsa, kekuasaan yang tidak pro-rakyat dan hanya pro-kepentingan sendiri dan kelompoknya, harus siap-siap “diadili” oleh rakyatnya sendiri. Jika “adil-mengadili” rakyat ini terus berlanjut, kapan pembangunan bangsa yang terarah ini dapat terwujudkan secara hakiki? Cina dan Jepang maju pesat karena menghargai sejarah masa lalunya. Kita? Hari kemarin pun kerap kali dilupakan, apalagi mengingat kejayaan Majapahit, Sriwijaya, dan Tarumanegara, di masa lalu yang hanya ada dalam buku-buku teks sejarah bangsa. Semoga tidak demikian selanjutnya.

Kehilangan visi kebangsaan
Muara dari persoalan di atas sebetulnya ada pada visi kebangsaan yang tidak komprehensif dipraksiskan dalam kehidupan ril berbangsa dan bernegara. Berbicara tentang bangsa (nation) dan negara (state) bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belakangan ini sama halnya dengan mempertanyakan apa yang terjadi sebetulnya dan bagaimana bangsa ini, saat ini dan saat mendatang. Benarkah bangsa ini, saat ini, tidak memiliki cita-cita ke depan yang lebih baik? Sebuah pertanyaan yang sebetulnya klise. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang besar ini tidak memiliki cita-cita ke depan?
Kenyataan di lapangan menggambarkan betapa bangsa ini seakan tidak memiliki cita-cita ke depan yang lebih baik. Bangsa ini malah terlihat masih saja berjalan di tempat. Pemberantasan korupsi, sebagai modal mulia sekaligus utama guna mewujudkan cita-cita bangsa, masih terasa sulit dilakukan secara menyeluruh. Malah, dalam beberapa kasus, terkesan ada tebang pilih.
Walaupun, sang kepala negara dan aparat terkait hal ini menjawab tegas bahwa tidak ada tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Tetapi, kenyataan menyuguhkan bahwa para koruptor kelas kakap yang tertangkap masih bisa dihitung dengan jari. Itu pun karena mereka menyerahkan diri dan mengakui kejahatannya serta bersedia mengembalikan harta “curiannya” itu pada negara. Ada pula yang murni karena agresivitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti pada kasus korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pemerintah, pada sisi lain, justru seakan membanggakan diri saat menangkap para koruptor, padahal mereka yang ditangkap itu hanya koruptor-koruptor kelas teri. Pemerintah menjawab lagi bahwa semuanya butuh proses yang tidak sebentar. Betul, tetapi jika proses yang tidak sebentar itu justru untuk mengulur-ulur waktu dan pada akhirnya hanya untuk membebaskan para koruptor, apakah masih relevan jawaban semacam itu?
Itu soal korupsi. Soal lain, tingkat kemiskinan dan pengangguran di negeri ini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan oleh pemerintah sebesar 6% pada tahun ini terancam gagal. Karena, nyatanya, pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada 5,1%. Rakyat menjerit akibat kemelaratan yang mendera. Sebelumnya, rakyat telah kencang menjerit saat pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai konsekuensi dicabutnya subsidi BBM.
Untuk sedikit meredakan jeritan rakyat, pemerintah memindahkan subsidi BBM dalam bentuk uang tunai sebesar Rp 300.000 untuk jatah tiga bulan rakyat. Subsidi juga dialihkan ke sektor-sektor pendidikan, seperti untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tetapi, dalam kenyataan, penyaluran itu amburadul akibat ditilap oleh oknum-oknum birokrasi korup yang memang sudah menjadi tradisinya sejak dulu.
Belum selesai rakyat dibebani dengan biaya ekonomi yang tinggi, pemerintah kembali menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL). Walau, naiknya TDL ini masih terkesan “malu-malu.” Bulan Mei nanti, harga gas rencananya juga akan dinaikkan. Sepertinya, tidak ada harga barang di negeri ini yang tidak dinaikkan. Harga tol juga dinaikkan. Sementara harga-harga melambung, pemerintah, bukannya konsentrasi menggenjot peningkatan mutu dan daya saing beras dalam negeri, justru mengimpor beras dari Vietnam yang gagal dihadang oleh hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Realitas itu semakin meneguhkan kita untuk semakin kencang bertanya lagi apakah benar kalau bangsa ini memang tidak punya cita-cita ke depan yang lebih baik? Atau, benarkah bangsa ini telah kehilangan visi kebangsaannya? Jangan-jangan, memiliki visi, tetapi visinya hanya untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang tertentu saja. Sementara visi kebangsaan yang lebih luas, yakni hanya untuk menyejahterakan rakyat, justru sebaliknya, divisikan agar mereka tetap menderita lahir dan batin?

Merajut visi kebangsaan
Ukuran bahwa sebuah bangsa memiliki visi kebangsaan adalah adanya falsafah hidup bangsa yang dimiliki. Bangsa ini memiliki falsafah hidup bernama Pancasila. Tetapi, sayangnya, Pancasila, akhir-akhir ini jarang didengungkan lagi. Apalagi, diamalkan, diimplementasikan, dan dikonkretkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan-kebijakan yang visioner dan pro-rakyat.
Lima sila Pancasila menggambarkan suatu visi ke depan untuk bangsa dan negara yang sangat progresif. Simak, misalnya, sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sudahkah bangsa ini menjadikan prinsip-prinsip keadilan atas dasar kemanusiaan, terwujud? Apakah keadilan itu berwujud membebaskan para koruptor dan menghukum mati orang-orang yang sebetulnya bukan aktor utama kejahatan? Adilkah, jika seorang anak kecil belum cukup umur didakwa masuk penjara oleh pengadilan dengan gagahnya, hanya gara-gara perkelahian kecil dengan sesama anak seusianya, sementara pengadilan kecut dan ngeper saat menghadapi para koruptor kelas kakap?
Simak pula, misalnya, sila terakhir: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sudahkah keadilan untuk seluruh bangsa ini terwujud nyata? Keadilan tidak hanya pada hukum, tetapi keadilan yang mencakup semuanya. Baik itu keadilan ekonomi, sosial, politik, dan lainnya. Sistem ekonomi yang tidak berkeadilan hanya akan membuat rakyat semakin sengsara, sementara keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sistem sosial yang tidak berkeadilan hanya membuat rakyat semakin terpecah-pecah dalam kubu-kubu yang semakin meruncing dan mudah disulut api pertikaian. Sistem politik yang tidak berkeadilan hanya akan membuat para elite-elite politik lebih suka “mengenyangkan” perut dan “memperkaya” sendiri sementara konstituen di bawahnya meraung-raung meminta aspirasinya ditampung dan dipenuhi.
Bangsa ini hakikatnya memiliki visi kebangsaan yang sangat progresif, tetapi sering kali lalai dan lupa dengan visinya sendiri. Akibatnya, visi kebangsaan hanya ada dalam alam bawah sadar. Dalam praktiknya, bangsa ini tidak lebih hanya menerapkan tujuan-tujuan jangka pendek pragmatis. Demi menggenjot laju pertumbuhan dan percepatan ekonomi makro, misalnya, pemerintah membebankan semuanya kepada rakyat. Ekonomi mikro terbengkalai dan kurang mendapat perhatian serius. Demi memancing investor asing menanamkan modalnya, kepentingan buruh dikorbankan. Buntutnya, buruh mogok kerja. Negara rugi miliaran rupiah dalam jangka beberapa hari saja.
Bangsa ini memang unik. Potret sebuah bangsa yang bervisi kebangsaan tetapi paradoks dengan kenyataan sesungguhnya di lapangan. Pada titik ini, pesimisme memang kerap kali menyeruak ke permukaan. Tetapi, bangsa yang bervisi kebangsaan pantang pesimis. Optimisme, dengan segala kekuatan, mesti dibangun bersama. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melihat kembali, memikirkan, merenungkan, lalu mengejawantahkan visi kebangsaan yang telah tertuang dalam falsafah hidup bangsa bernama Pancasila ini secara komprehensif.
Persoalan bangsa yang saat ini begitu akut belum ketemu ujung pangkalnya, murni bukan kesalahan elemen-elemen saat ini semata. Tetapi, itu merupakan akumulasi dari kesalahan dan kekeliruan dari sistem masa lalu yang, “sialnya,” saat ini ditanggung bersama. Tetapi, sungguh disayangkan, kekeliruan di masa lalu, kerap kali diulang-ulang saat ini yang membuat bangsa ini berjalan di tempat tak pernah sampai tujuan. Visi kebangsaan mutlak harus terus digelorakan dalam bentuk kesadaran kolektif seluruh elemen bangsa ini demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik ke depan.

Bangsa yang berkeadilan sosial
Dalam sambutannya ketika membuka acara Pertemuan Puncak Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marginal dalam Konteks HAM, Senin (24/4), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui bahwa dalam memenuhi prinsip negara hukum, jaminan hak asasi manusia, dan hak warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945, ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dan kenyataan. Meskipun sejak dulu bangsa Indonesia telah berjuang dan berusaha mengatasi kesenjangan yang terjadi, tetapi hasilnya dirasakan belum memuaskan semua pihak.
Pernyataan Presiden SBY menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Apa yang SBY katakan benar-benar menggambarkan betapa pentingnya upaya-upaya mewujudkan harapan-harapan segenap komponen bangsa menjadi kenyataan. Walau, harus diakui, hingga saat ini, wujudnya secara komprehensif masih dalam proses yang memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Bangsa ini berada dalam penderitaan yang dalam karena ketidakadilan selalu akrab mengurung mereka hari demi hari. Persis seperti yang diungkapkan oleh Godwin dalam bukunya, The Inquiry Concerning Political Justice (1793), bahwa penderitaan manusia pada intinya disebabkan oleh ketidakadilan. Saat lahirnya, manusia sebetulnya tidak baik dan tidak juga buruk.
Karena itu, katanya, ketidakadilan harus dilenyapkan. Manusia harus ditunjukkan jalan hidup yang suci dan agar mereka menghindari kekeliruan dan menemukan kebahagiaan yang sejati. Kekuasaan negara yang menghalangi individu bertindak sesuai dengan akal dan kebajikan harus “dilenyapkan.” Sikap yang mengarah kepada eksploitasi harus dihilangkan.
Godwin, lebih lanjut mengusulkan bahwa masyarakat masa depan, yakni masyarakat yang ideal, harus terdiri atas unit-unit kecil di mana tak seorang pun akan diperbolehkan memaksakan kehendaknya pada orang lain. Karena, upaya pemaksaan kehendak hanya akan melahirkan kekuasan yang otoriter. Kekuasaan yang otoriter berpotensi besar akan bertindak bukan atas nama keadilan, tetapi atas nama kekuasaan. Keadilan, akhirnya, hanya ada dalam harapan. Dalam kenyataan, ibarat masih jauh panggang dari api.
Kekuasaan yang otoriter, dengan demikian, mutlak harus dikubur dalam-dalam di pemakaman bernama demokrasi. Dengan demokrasi, keadilan dapat diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa. Karena, muara negara yang demokratis adalah terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial yang menyeluruh. Baik keadilan dalam hukum, politik, maupun ekonomi.
Falsafah demokrasi bangsa ini adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal ala Barat atau demokrasi sosialis ala Cina dan yang lainnya. Sila kelima menyatakan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini sekaligus menutup sila-sila sebelumnya. Ini bermakna bahwa langkah-langkah apa pun yang dilakukan oleh negara, yang mencakup lembaga yudikatif, eksekutif, dan legislatif, sebagai pengurus rakyatnya, harus divisikan bagi terwujudnya suatu keadilan sosial yang hakiki dan sejati.
Ketidakadilan adalah wujud kegagalan negara dalam mengurus warganya. Sebaliknya, upaya-upaya penegakan hukum yang berkeadilan, konsisten, konsekuen, dan kontinu adalah perwujudan dari harapan-harapan seluruh warga bangsa ini. Tiada pilihan lain bagi negara ini selain menegakkan hukum secara total. Karena, inilah wujud nyata harapan yang sudah lama hanya tetap menjadi harapan. Himbauan Presiden SBY, dalam hal ini, patut ditindaklanjuti secara positif oleh pemerintah dan lembaga-lembaga terkait. Wallahu a’lam.

Jurnal Manajemen Kemasjidan TA‘MIR MASJID, Vol. V No. 1 Juni 2006

Tidak ada komentar: