Selasa, 14 Agustus 2007

Membaca Terorisme Pasca-Azahari

Azahari, gembong teroris di negeri ini, selain Noordin M Top, akhirnya tewas dalam penggerebekan di Batu, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Meski Azahari telah tewas, apakah intensitas teror bom di negeri ini juga akan kian surut atau sebaliknya?

Beberapa kemungkinan
Ada beberapa kemungkinan yang bisa terbaca. Pertama, tewasnya Azahari akan meningkatkan “daya juang” teroris lain, terutama anak-anak muda yang sudah digembleng oleh Azahari. Jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun berbahaya.
Kedua, gerakan teroris akan melemah seiring gencarnya perburuan polisi. Propaganda melalui poster dan spanduk, juga pemeriksaan yang ketat atas para pengemudi kendaraan bermotor di beberapa kota, tentu “mempersulit” gerak para teroris melakukan “serangannya” kembali.
Ketiga, untuk sementara para teroris “menghentikan” aksinya, mengesankan gerakan terorisme di Indonesia telah kocar-kacir. Dengan cara ini, mereka memiliki banyak waktu, bisa menyiapkan “sesuatu” yang lebih besar lagi. Potensi teror bisa dipastikan akan lebih besar jika pihak kepolisian “kalah cepat” dengan mereka.
Sukses menangkap Azahari hendaknya tidak disikapi secara berlebihan. Masalahnya, tewasnya Azahari belum menjadi bukti betapa pihak kepolisian telah sukses. Kepolisian baru dianggap sukses jika terorisme di Indonesia betul-betul telah diberantas hingga akar-akarnya.
Gembong teroris lainnya, Noordin M Top, belum ditemukan. Belum tugas lain: membongkar jaringan terorisme di Indonesia secara terbuka dan tuntas. Hal ini akan menyangkut pembuktian, benarkah ada konspirasi global yang melibatkan kekuatan asing guna kepentingan negaranya, untuk mengacau Indonesia. Pasalnya, tewasnya Azahari terkesan “terlalu mudah” bagi gembong teroris.

Upaya antisipasi
Agaknya tewasnya Azahari belum akan menyurutkan gerakan teroris di Indonesia untuk beberapa waktu. Diperkirakan, intensitasnya kian meningkat meski bentuknya sederhana. Untuk sementara, mereka sedikit mengendurkan ancaman. Tetapi, dengan kendurnya mereka, besar kemungkinan ada rencana lebih jahat dan lebih hebat untuk “mengentak” negeri ini.
Ada beberapa hal yang bisa diantisipasi. Pertama, terus mempersempit ruang gerak dan kesempatan teroris melakukan serangan kembali. Peran tokoh masyarakat, baik agamawan maupun lainnya, mutlak diperlukan. Mereka harus menyerukan betapa berbahayanya terorisme. Pada saat sama memberi kesadaran, terorisme bukan ajaran agama sejati dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kedua, melakukan deteksi dini terhadap aktivitas gerakan terorisme. Peran Badan Intelijen Negara (BIN) perlu dimaksimalkan. Kerja sama dan kaordinasi yang kuat antara kepolisian dan BIN harus terjalin sinergis dan terencana matang.
Ketiga, membangun kembali kekuatan masyarakat dengan bingkai kekeluargaan, solidaritas, dan gotong royong untuk saling membantu menghadang para teroris. Kekuatan ini akan cukup efektif, setidaknya untuk mempersulit gerak para teroris.
Keempat, peran serta pemerintah dalam bentuk komitmen dan bukti untuk memberi jaminan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Itu tidak bisa dilakukan hanya sebatas retorika, tetapi harus melalui aksi nyata dan bisa dirasakan segenap masyarakat.

Musuh bersama
Keadilan harus ditegakkan. Bangsa yang tidak merasakan keadilan berpotensi menumbuhkan benih terorisme. Aspek politik dan ekonomi juga harus diperbaiki. Pasalnya, kedua aspek ini sering dijadikan ajang “memperkaya diri” dan kelompoknya. Sementara itu, rakyat kian termiskinkan oleh sistem yang kurang berpihak kepada mereka.
Langkah maju pemberantasan terorisme akan berhasil jika kita berkomitmen menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Dengan demikian, upaya para teroris membuat bangsa ini kembali terluka akan berkurang, bahkan hilang.

Kompas, Jumat 25 November 2005

Tidak ada komentar: