Selasa, 14 Agustus 2007

Menghidupi Bulan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan suci, mulia, dan istimewa, di antara bulan-bulan yang lainnya. Mengisi Ramadhan dengan amalan-amalan ibadah, baik yang bersifat mahdhah nilainya, seperti salat, zikir, iktikaf, dan puasa itu sendiri, maupun ibadah yang ghayr mahdhah, seperti menyedekahkan sebagian hartanya untuk membantu orang-orang fakir dan mereka-mereka miskin papa, atau ikut membangun sarana-sarana kepentingan umat dan umum, seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, dan lembaga-lembaga pendidikan, merupakan kepantasan yang tak terelakkan.
Inilah inti pesan sabda Rasulullah Saw, ketika menyambut datangnya bulan Ramadhan, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian menghidupi, dan mengisinya, dengan dasar iman dan semata-mata mengharapkan ganjaran pahala Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni Allah. Dan, barangsiapa yang juga menghidupi malam lailatul qadr karena landasan iman dan pengharapan semata-mata kepada Allah, maka segala dosanya akan diampuni.” (HR al-Tirmidzi).
Bulan Ramadhan adalah kesempatan atau momentum emas bagi orang-orang beriman yang tulus untuk semakin mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah SWT melalui berbagai amal kebaikan. Berbagai amal ini dapat dilakukan di segala hal dan segmen kehidupan. Sebab, pada bulan ini, segala amal baik, apapun bentuk dan ragamnya, akan dilipatgandakan nilai pahalanya, dibandingkan dengan pahala pada bulan-bulan selain Ramadhan.
Rasulullah Saw menyatakan hal ini melalui sabdanya, “Nilai pahala puasa itu khusus ada pada-Ku dan Aku sendiri yang tahu balasan apa yang layak akan Aku berikan. Perbandingannya, satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang senilai.” (HR al-Bukhari).
Bisa dibayangkan, bahwa pahala puasa Allah SWT sendiri yang tahu, dan Dia sendiri yang akan menambah pahala lebih dari yang kita perkirakan. Semua itu, tentunya, dengan catatan bahwa segala amalan kita hanya semata-mata atas landasan iman, percaya bahwa puasa itu adalah kewajiban dari Allah SWT kepada orang-orang beriman yang harus ditunaikan. Selain itu, puasa itu sendiri adalah bentuk kepatuhan total, semata-mata mengharapkan keridlaan, rahmat, dan kemurahan Allah SWT. Jika ini yang dilakukan, maka puasa akan benar-benar melahirkan nilai yang tinggi.
Kesempatan untuk mengisi dan menghidupi Ramadhan dengan amaliah positif itu sendiri juga telah terbuka dan terbentang luas di depan mata dan sekeliling kita. Apalagi, dengan ketidakberfungsian dan melemahnya setan-setan dalam menggoda orang-orang yang berpuasa. Rasulullah Saw menyatakan hal ini, “Ketika awal bulan Ramadhan telah tiba, setan-setan penggoda dan jin-jin pembisik dibelenggu.” (HR al-Tirmidzi).
Ini dipertegas lagi dengan kepastian dari Allah SWT yang menutup rapat-rapat pintu neraka, dan membuka lebar-lebar pintu surga. Rasulullah Saw bersabda, “Ketika memasuki bulan Ramadhan, pintu-pintu langit dibuka lebar-lebar, dan pintu-pintu neraka jahanam dikunci rapat-rapat.” (HR al-Bukhari).
Maknanya, bulan Ramadhan memberikan lebih banyak lagi kesempatan kepada kita untuk memperoleh sebanyak mungkin limpahan karunia-Nya, dan menghindari sedikit dan sekecil mungkin amalan-amalan tak berguna dan tak bernilai.
Menghidupi dan mengisi Ramadhan dengan amal-amal kebaikan, dengan demikian adalah suatu keharusan. Sukses atau tidaknya mengisi dan menghidupi Ramadhan, amat bergantung pada keyakinan dan kesediaan kita untuk menumpahkan energi yang kita miliki, semata-mata untuk dan karena Allah SWT. Ramadhan bukan sembarang bulan. Ia adalah bulan tempat seorang mukmin konsentrasi dalam segala kegiatan positif yang bernilai guna tinggi, baik pada diri sendiri, maupun bermanfaat buat orang lain.
Berlomba-lomba dalam kebaikan
Pada suatu ketika di bulan Ramadhan, Hasan al-Bashri, tokoh sufi terkemuka berjalan melewati segerombolan orang yang tengah tertawa-tawa dengan riuh ramainya. Melihat itu, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah menjadikan Ramadhan sebagai arena perlombaan dalam melakukan ketaatan bagi makhluk-Nya. Ada banyak orang yang mengikuti perlombaan tersebut hingga dapat meraih kemenangan. Namun, ada pula orang yang mengikuti perlombaan tersebut, namun gagal, kecewa, dan kalah. Tetapi, yang sangat mengherankan, ada pemain-pemain yang tertawa-tawa di saat para pemain lain sedang berpacu meraih kemenangan.”
Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan berkah melimpah ruah bak tertumpah dari langit. Pada bulan ini pula, Allah SWT membuka pintu-pintu surga dan menutup rapat-rapat pintu-pintu neraka. Rasulullah Saw bersabda, “Ketika datang bulan Ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar, dan pintu neraka jahanam dikunci rapat-rapat.” (HR Muslim).
Karena itu, orang-orang beriman yang sedang menjalankan ibadah puasa dianjurkan memperbanyak amal kebaikan dalam bentuk apapun. Mulai hal-hal yang terkecil, hingga hal-hal yang terbesar, sesuai dengan batas kemampuan yang dimilikinya; selain, tentunya, amal-amal baik yang dilakukan itu diniatkan semata-mata karena Allah SWT agar hasil yang ditunai juga bernilai berkah. Berkah dalam artian segala amal perbuatannya benar-benar mendapat ridla Allah SWT dan amalnya makbul, di samping memberikan manfaat bagi orang lain.
Terkait dengan perihal amal dan niat, dalam karya tafsirnya, Shafwah al-Tafasir, ‘Ali al-Shabuni menyebutkan bentuk-bentuk amal dalam tiga bentuk bagian. Pertama, amalan-amalan yang diperintahkan (mamurat). Kedua, amalan-amalan yang dilarang (manhiyyat). Dan, ketiga, amalan-amalan yang diperbolehkan (mubahat).
Amalan-amalan yang diperintahkan (mamurat) adalah amalan-amalan pasti yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya dengan tegas dan jelas. Karena sifatnya perintah, maka ia membutuhkan keikhlasan dan kerelaan orang yang melakukannya. Jika tidak, maka amalan-amalan itu tidak saja hancur, akan tetapi juga sia-sia dan tak bernilai apa-apa di sisi Allah SWT.
Sedangkan, amalan-amalan yang dilarang (manhiyyat) adalah amalan-amalan yang telah Allah SWT dan Rasul-Nya tetapkan untuk ditinggalkan dan dijauhi. Karena sifatnya adalah larangan, maka seseorang itu tidak perlu niat untuk meninggalkannya. Ketika dilarang melakukan sesuatu, seorang hamba harus meninggalkannya, tanpa perlu mempertanyakannya lagi. Allah SWT berfirman, “Segala hal yang Rasulullah perintahkan pada kalian, maka lakukanlah sesuai dengan batas kemampuan. Namun, segala hal yang Rasulullah larang, maka kalian harus meninggalkannya dengan total. Bertakwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Allah itu sangat berat siksaan-Nya.” (QS al-Hasyr [59]: 107).
Sedangkan, amalan-amalan yang dibolehkan, artinya tidak diperintahkan, namun tidak juga dilarang, seperti makan, minum, dan lain-lainnya, maka jika ia berniat karena Allah SWT, maka ia mendapatkan pahala. Namun jika tidak, maka ia tidak mendapatkan pahala dari-Nya.
Ramadhan adalah momentum tepat untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan kekuatan jasmani dan rohani dalam melakukan amal-amal kebaikan secara total dan maksimal, tidak setengah-setengah. Seseorang itu harus tegas menolak dan berupaya maksimal untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan buruk. Lebih tepatnya, mari menghidupi bulan Ramadhan dengan berlomba-lomba dalam kebaikan. Wallah a‘lam.

Duta Masyarakat, Sabtu 7 Oktober 2006

Tidak ada komentar: