Minggu, 12 Agustus 2007

Bahaya Kultus Buta pada Elite Ulama

Salah satu persoalan serius pada sebagian besar umat beragama, terkhusus Islam, dalam kaitannya dengan ijtihad pemikiran keagamaan adalah persoalan kultus terhadap ulama-ulama tertentu. Saat yang sama, menganggap ulama-ulama lain sebagai “tidak berhak” menafsirkan agama. Mereka ini kerapkali menganggap bahwa hanya ulamanya-lah yang paling otoritatif dalam menentukan hitam putih putusan agama terhadap persoalan yang terjadi.
Mereka kerapkali mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang biasa mereka pegang sebagai pedoman ideologis dan landasan teologisnya, “Para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka tidak diwarisi oleh nabi selain ilmu.” (HR Abu Dawud). Dalam posisi sebagai pewaris para nabi, ulama diyakini, oleh sebagian orang, justru “persis seperti” atau “sama” dengan nabi dalam hal apa pun.
Dalam tradisi pemikiran sebagian kalangan Syiah, misalnya, figur ulama otoritatif mereka sebut dengan imam. Imam-imam ini mereka anggap ma’sum (terhindar dan terpelihara dari dosa). Karena, menurut sebagian kalangan Syiah, mereka adalah menjadi pengganti status kenabian yang telah berakhir pada sosok Rasulullah SAW. Imam dalam tradisi sebagian Syiah kental dikultuskan. Secara nasab (garis keturunan) mereka memiliki persambungan dengan Nabi SAW lewat Fathimah.
Persoalan kultus selalu menjadi fenomena faktual menarik didiskusikan. Karena, hal ini yang hampir ada pada setiap sekte, terutama sekte-sekte keagamaan (religius). Bahkan, menurut Charles Kimball dalam bukunya, When Religion Become Evil, hampir sebagian besar tradisi agama bermula dari sekte-sekte yang terkait kental dengan kultus terhadap sang figur pemimpinnya. Tidak terkecuali, Islam.

Bahaya
Ada tiga bahaya yang timbul ketika ulama (baca: agamawan) dikultuskan secara membabi-buta oleh para pengikutnya. Pertama, hilangnya kepercayaan pada pemikiran diri sendiri. Yang kerapkali timbul adalah perasaan minder dan inferior untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas. Karena, merasa bahwa tidak ada autoritas dalam diri sendiri untuk melontarkan ide-ide tertentu. Pasalnya, harus berhadapan dengan autoritas ulama yang ia yakini kapabilitasnya.
Padahal, setiap orang berhak bicara dan mengemukakan pendapat. Mereka memiliki kesempatan dan peluang yang sama besar untuk ikut terlibat dalam merumuskan penyelesain berbagai persoalan kegamaan yang terjadi. Jika orang di luar agamawan tidak dilibatkan, saat yang sama, kaum agamawan ternyata kurang mampu memahami persoalan yang sedang terjadi, kemungkinan besar yang timbul adalah ketimpangan dan kerancuan pemikiran yang berujung pada penyelesaian yang kurang komprehensif dan bisa-bisa keliru.
Contoh yang bisa diangkat antara lain dalam hal penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang bertendensi patriarkis dan bias jender. Akibat tidak ada “keterbukaan” dan “ketulusan” untuk mendengarkan suara-suara perempuan, pihak perempuan kerapkali termarjinalkan peran dan fungsinya dalam kehidupan sosial. Perempuan terus-menerus dianggap sebagai the second class yang tak dapat berbuat apa-apa selain harus manut pada kehendak dan kuasa laki-laki.
Kedua, makin terhambat atau tumpulnya upaya pengembangan pemikiran keagamaan yang lebih progresif. Ketika ulama tertentu dikultuskan secara buta dan dianggap sebagai the only chossen one, maka segala pemikiran yang lahir dari ulama itu dianggap sebagai harga mati yang harus dibela mati-matian.
Walaupun, pendapatnya tidak relevan dengan semangat zaman dan ruh agama sejati. Ini tentu bukan hal yang menguntungkan bagi upaya penafsiran agama. Ajaran agama kerapkali menjadi menjadi jumud, kaku, dan kurang respek dengan perkembangan dan perubahan-perubahan problem kehidupan umat manusia.
Dan, ketiga, ini yang paling berbahaya, yakni munculnya “agama ulama” atau pemikiran dan pendapat ulama yang dianggap sebagai mutlak agama yang paling benar. Pemikiran ulama itu kemudian dijadikan sebagai agama dengan, secara tidak sadar, mengeyampingkan nilai-nilai substansial ajaran sejati Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Padahal, pemikiran ulama hanyalah hasil penafsiran terhadap sumber primer, yang memiliki dua potensi yang seimbang: benar atau salah. Tidak ada yang bisa menjamin mutlak bahwa pemikiran mereka adalah benar sesuai dengan apa yang ada pada Tuhan sehingga harus diikuti. Mereka hanyalah penafsir firman Tuhan, sama dengan orang lain yang juga mencoba menafsir firman Tuhan sesuai perspektifnya masing-masing.
Dalam konsep hermeneutika ala richeurrian, misalnya, malah dikatakan bahwa ketika sebuah teks, Alquran dan kitab-kitab suci miliki semua agama dianggap juga termasuk bagian dari teks, sudah ada di tangan pembaca (reader) maka interaksi yang ada hanyalah antara pembaca (reader), text, dan context. Sehingga, peran dan campur tangan Tuhan (author) benar-benar “tidak ada” karena tidak bisa dikonfirmasi.
Seorang penafsir dengan demikian tidak dapat disalahkan secara mutlak ketika mencoba membaca teks dan realitas yang dihadapinya secara bersamaan. Dalam arti lain, horizon Alquran mesti dipertemukan dengan horizon pembaca yang terlingkupi realitas faktualnya. Penafsiran yang baik selalu mempertimbangkan dua hal ini.
Karena itulah pemikiran keagamaan (wacana agama) selalu berkembang dengan adanya dua pertemuan ini pada setiap zaman. Maka pemikiran keislaman klasik yang tidak relevan lagi dengan zaman kontemporer tidak bisa dipertahankan secara terus-menerus. Perlu pembaruan pemikiran dalam hal ini.

Memosisikan
Sebagai kata akhir, hemat penulis, kita mesti memosisikan ulama (agamawan) sesuai dengan kapasitas yang sesuai dengan mereka dan sewajarnya. Kita menghormati para ulama. Karena, mereka memiliki moralitas dan akhlak, juga intelektualitas yang tinggi. Tapi, dalam hal pemikiran ilmiah, mereka berada pada posisi yang seimbang: pemikirannya bisa salah atau benar.
Jika mereka keliru dalam memahami problem kehidupan, sehingga melahirkan penafsiran yang kurang relevan dengan zaman, maka ranah pemikiran selalu memberikan peluang kepada setiap orang untuk mengkritisinya. Maka kultus buta terhadap figur ulama tertentu dengan mengesampingkan ulama-ulama lain, dalam hal pemikiran sudah saatnya dikubur dalam-dalam demi upaya mengembangkan pemikiran kegamaan lebih progresif, maju, dan modern.
Mengutip Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya, Teologi Kebudayaan dan Demokrasi Modernitas (1995), kebangkrutan tradisi keberagamaan hanyalah karena kecenderungan formalisme pemahaman atas wahyu sebagai sumber utama ajaran suatu agama. Karena itu, salah satu alternatif ialah perlunya pengembangan pemahaman agama yang lebih terbuka dan demokratis.
Namun demikian, lanjut Mulkhan, hendaknya, disadari bahwa keterbukaan dan demokratisasi pemahaman keagamaan akan segera berhadapan dengan kecenderungan hirarkis keberagamaan yang hegemonistik di mana autoritas pemahaman keagamaan berada dalam kekuasaan lapisan elite komunitas agama. Hal ini akan sangat bergantung pada kesediaan elit agama itu sendiri untuk mulai membagi autoritas pemahaman keagamaan kepada seluruh lapisan dalam hirarki komunitas internal agamanya. Wallahu a’lam.

Duta Masyarakat, Rabu 5 Juli 2006

Tidak ada komentar: