Selasa, 14 Agustus 2007

Menangani Pornografi dan Pornoaksi

Pihak kepolisian akhir-akhir ini semakin intensif menertibkan media-media yang oleh sementara pihak disebut berbau pornografi. Selain itu, masyarakat juga semakin gerah dan gelisah dengan tayangan-tayangan berbau pornoaksi di media-media elektronik. Umumnya, mereka melakukan sejumlah protes keprihatinan melalui aksi-aksi pengerahan massa menuntut pemerintah secepatnya mengesahkan RUU anti pornografi dan pornoaksi yang saat ini sedang dalam pembahasan intensif DPR.
Walau demikian, di lain pihak, rupanya banyak pula kalangan yang adem-adem ayem, karena merasa tidak ada yang perlu dipersoalkan. Semua dikembalikan pada masing-masing “penikmatnya.” Semua bebas mengekspresikan diri tanpa perlu dibatasi oleh siapa pun dan apa pun. Sebagian kalangan ini juga menggalang massa, walau skalanya lebih kecil, untuk menolak RUU anti pornografi dan pornoaksi itu.

Langkah penanganan
Pertanyaan yang cukup menarik dikemukakan adalah bagaimana sebaiknya penanganan masalah ini dapat diterima oleh semua pihak secara rasional objektif, bukan karena subjektifitas personal. Misalnya, masalah ini tentunya akan sangat terkait dengan para pemain (pelaku) dan penonton (penikmat). Orang-orang yang dianggap “beraksi porno” tentunya akan memiliki sejuta alasan untuk membela diri dengan argumen-argumennya. Sama halnya dengan penonton yang juga memiliki argumen untuk “menikmati” aksi-aksi itu secara bebas.
Karena itu, dalam konteks ini, wacana pornografi dan pornoaksi akan jauh lebih efektif jika diletakkan dalam koridor wacana ilmiah, rasional, dan objektif. Sehingga, hasil memuaskan akan didapatkan. Sebab, jika wacana ini terus saja mengambang, maka tidak akan pernah selesai.
Akan berakibat fatal jika para pembahas RUU, misalnya, langsung main ketok palu tanpa mempertimbangkan pula suara-suara yang mencoba mengkritisinya. Masalah akan bertambah fatal jika pemerintah secara arogan beralasan, dengan isu itu, untuk membredel kebebasan berekspresi dalam spektrum yang lebih luas.
Maksudnya, dalam konteks kebebasan pers, media-media pers lain akan kena getahnya akibat media-media yang sebetulnya, jika merujuk pada kode etik jurnalistik, bukan bagian dari pers. Karena, salah satu butir kode etik jurnalistik menyatakan bahwa pers dilarang untuk memberitakan hal-hal cabul.
Jika hal-hal cabul menjadi sajian utama sebuah media, maka, hakikatnya ia bukanlah bagian dari pers. Karena itu, ia mesti ditangani bukan oleh lembaga-lembaga perlindungan pers. Pendek kata, tidak ada sangkut-pautnya dengan pers. Maka, aksi kepolisian menyisir media-media itu, pada hemat penulis, cukup tepat.
Tetapi, hemat penulis, tindakan itu juga mesti diimbangi dengan upaya-upaya lanjutan yang lebih konsisten. Soalnya, yang ditangkap oleh kepolisian dalam penyisiran itu hanyalah para pedagang yang mencari peruntungan dengan memanfaatkan “kegandrungan” para pembeli akan media-media itu.
Mestinya, kepolisian menindak pula para pengelola media yang bersangkutan itu. Jangan terjadi paradoks seperti pada minuman keras. Kepolisian menyisir para pedangan minuman keras, tetapi tidak menyisir pabrik-pabrik pengelola minuman haram itu.

Akibat globalisasi
Merebaknya media-media pornografi di negeri ini tidak lepas dari gencarnya gelombang globalisasi industri. Apa pun dapat dikomersilkan asal keuntungan diraih. Tidak pandang apakah itu sesuai dengan norma-norma kepatutan, kepantasan, dan kesopanan yang telah mendarahdaging dalam budaya masyarakat Timur atau tidak. Semua tidak menjadi soal. Jika mengacu pada hal ini, sebetulnya negara memiliki posisi yang sangat strategis untuk menjadi penertib yang dapat diandalkan.
Negara adalah simbol perwakilan setiap elemen masyarakat dengan tujuan menciptakan rasa nyaman bagi masyarakatnya. Jika persoalan pornografi dan pornoaksi menjadi wujud ketidaknyamanan sebagian masyarakat, tentu sudah menjadi kewajiban negara untuk menyelesaikannya. Penyelesaian yang meniscayakan dialog semua kalangan dengan pandangan-pandangan ke depan yang lebih baik. Bukan pandangan-pandangan yang semakin kontroversial yang membuat masyarakat semakin tidak nyaman.

Duta Masyarakat, Sabtu 18 Februari 2006

Tidak ada komentar: