Minggu, 12 Agustus 2007

Jika Demokrasi Menjadi Otoritarianisme

Munculnya demokrasi sebagai gejala politik, menurut Rupert Emerson, telah berlangsung bersamaan secara amat dekat dengan munculnya bangsa-bangsa sebagai kesatuan-kesatuan yang sadar. Banyak terdapat garis-garis hubungan antara kebangsaan dan demokrasi. Yang paling tampak ialah kenyataan bahwa nasionalisme merupakan salah satu manifestasi ikatan sosial modern yang mengubah berbagai hubungan sosial tradisional.
Sebuah negara yang telah mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, jika melihat realitas di dalamnya, sebetulnya tidak sepenuhnya dapat dikatakan demokratis. Yang terpenting dalam sebuah negara demokrasi, sebetulnya, adalah apakah di dalamnya telah tercipta suatu proses demokratisasi yang terus-menerus (kontinyu) ataukah tidak.
Adanya tiga lembaga yang diklaim menjadi ciri utama negara demokrasi yang demokratis, yakni lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, jika tidak diberdayakan secara maksimal menjadi alat demokratisasi dalam negara demokrasi, maka demokrasi tentu hanya sebatas slogan. Demokratisasi menuntut peranan setiap elemen di dalamnya untuk bekerja sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dalam koridor pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyatnya.
Karena itu, stabilitas yang tercipta di dalamnya adalah harga mutlak proses demokratisasi dalam sebuah negara demokrasi. Jika itu belum tercipta, sebuah negara tidak dapat dikatakan demokratis, walaupun telah mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Negara baru disebut, secara hakiki, sebagai negara yang demokratis jika proses demokratisasi telah atau sedang terjadi. Dan, proses demokratisasi menuju demokratis tidak akan tercipta jika stabilitas tidak ada atau tidak terjaga baik.
Menurut Aren Lijpohard dalam bukunya, Democracy in Plural Societies (1977), ciri utama terpenting kekuasaan demokratis yang stabil ialah bahwa ia memiliki kemungkinan yang tinggi untuk tetap demokratis dan mempunyai tingkat yang rendah untuk mengalami gangguan kekerasan sosial baik yang terbuka maupun yang tersembunyi.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kedua dimensi, yakni kelanggengan sistem dan ketertiban sipil, saling berkaitan erat. Bahkan, yang pertama bisa dipandang sebagai persyaratan bagi yang kedua dan menjadi indikatornya. Begitu pula, tingkat legitimasi yang dinikmati oleh pemerintah dan keefektifan memerintahnya berkaitan satu sama lain dengan kedua faktor itu.
Secara bersama-sama dan dalam keadaan saling tergantung, keempat dimensi, yakni kelanggengan sistem, ketertiban, legitimasi, dan keefektifan, menandai stabilitas yang demokratis. Bahkan, sebenarnya, suatu stabilitas politik haruslah dengan sendirinya bersifat demokratis. Sebab, stabilitas yang tidak demokratis adalah semu, yang di dalamnya terkandung bibit-bibit kekacauan yang destruktif bagaikan sebuah bom waktu.
Tetapi, stabilitas juga tidak akan tercipta jika kekuatan-kekuatan penopang stabilitas itu bekerja sendirian atau terpecah. Harus ada perekat yang mengikat masing-masing elemen itu dalam satu komitmen kolektif. Perekat itu adalah rasa kebangsaan. Atau kesadaran bahwa setiap elemen dalam negara demokratis itu memiliki tanggung jawab untuk menjaga proses demokratisasi yang terus berproses.
Menurut J Rolland Pennock dalam Democratic Political Theory (1979), setiap bentuk pengaturan politik yang tangguh dan absah, lebih-lebih yang demokratis, memerlukan ikatan bersama yang antara lain berbentuk kesetiaan dasar suatu komitmen pada sesuatu yang lebih menggerakkan perasaan, yang terasa lebih hangat dalam lubuk jiwa daripada sekedar seperangkat prosedur, dan yang barangkali malah lebih kuat daripada nilai-nilai demokratis tentang kemerdekaan dan persamaan. Dalam dunia modern, perekat politik ialah rasa kebangsaan.
Tanpa perekat ini, negara berpotensi besar, tidak hanya tidak terkategori sebagai negara demokratis, tetapi, tujuan hakiki yang ingin dicapai dengan dipilihnya demokrasi sebagai sistem negara, akan buyar. Karena itu, sekecil apa pun persoalan konflik sosial yang terjadi, dan itu membuat stabilitas terganggu, minimal stabilitas komunitas tempat konflik berlangsung, mesti diwaspadai dan diantisipasi secara cermat. Harus secepatnya diselesaikan sebelum menjadi persoalan besar yang memantik benih-benih perpecahan akibat rasa kebangsaan yang luntur karenanya.
Sebelum tujuan negara yang secara sederhana diformulasikan oleh Aristoteles, misalnya, yakni untuk mewujudkan diri, sejauh mungkin, menjadi suatu masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sama derajat dan para sejawat, maka demokratisasi perlu semakin diperkuat dengan dukungan setiap elemen masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah dukungan dan kerja konkret para penyelenggara dan pengelola negara. Jika salah satunya lemah, atau malah kedua-duanya, maka negara demokrasi bakal keropos dan semakin melemah.
Yang muncul bisa jadi adalah kekuasan otoriter. Karena penyelenggara dan pengelola negara semakin kuat, sementara rakyat melemah. Hal ini, misalnya, bisa tercirikan dari semakin kuatnya dukungan pada pemimpin, sementara keberpihakan terhadap nasib dan kondisi rakyat kecil semakin tersingkirkan.
Inilah yang disebutkan oleh Arnold Brecht, dalam Political Theory the Foundations of Twentieth Century Political Thought (1970), sebagai sikap otoriter yang berpangkal justru pada keberpihakan semua pihak pada sang pemimpin. Gaya kepemimpinan otoriter, katanya, berpangkal pada pandangan yang menganggap bahwa kepemimpinan sebagai suatu prinsip nilai tertinggi. Mengikuti pemimpin adalah tindakan yang benar, dan melawannya adalah tidak benar.*

Suara Pembaruan, Selasa 14 Maret 2006

Tidak ada komentar: