Selasa, 21 Agustus 2007

Tentara (hanya) Memilih, “Why Not?”

Wacana tentang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi pemilih pada pemilu-pemilu mendatang muncul ke permukaan. Adalah Jenderal Endriartono Sutarto dan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang mengemukakan wacana itu menjadi diskursus cukup hangat. Hanya, keduanya berbeda pandangan tentang waktu yang tepat bagi anggota tentara untuk ikut pemilu.
Endriartono Sutarto mengatakan bahwa hak anggota tentara untuk memilih dan dipilih dapat ditetapkan pada pemilu 2009. Sementara itu, Juwono Sudarsono mengatakan bahwa pemilu 2009 belum saatnya. Ia memperkirakan, hal itu dapat dilakukan justru pada pemilu berikutnya (2014). Butuh kesiapan semua pihak untuk menerima wacana ini.
Apa pun pandangan yang dilontarkan terkait dengan hal ini, wacana tentang anggota tentara mengikuti pemilu tentu cukup menarik untuk dicermati bersama. Pertama, tentara adalah salah satu elemen penting pertahanan negara. Dan, kedua, kekuatan tentara di parlemen sudah meredup, bahkan menghilang, “dikalahkan” oleh kekuatan sipil yang sangat dominan.

Alasan
Wacana ini berkembang tentunya bukan tanpa alasan. Setidaknya, di pihak TNI sendiri. Mereka beralasan bahwa demokrasi utuh yang sedang terus-menerus dibangun di negeri ini, seharusnya, tidak membeda-bedakan elemen masyarakat. Anggota TNI, secara non institusional, adalah bagian dari warga bangsa yang juga memiliki hak pilih dalam pemilu, tanpa melupakan kewajiban mereka sebagai garda depan pertahanan negara dan bangsa.
Selain itu, dominasi kekuatan sipil di parlemen tentu saja membuat “kekuatan” politik TNI menjadi tidak diperhitungkan. Kalaupun, misalnya, TNI melakukan manuver politik dengan mulai masuk ke gelanggang politik praktis, maka sebetulnya itu akan kandas dengan sendirinya. TNI tidak lagi memiliki dwifungsi seperti pada masa Orde Baru (Orba). Maka, memilih, menurut TNI, lebih merupakan harapan anggota tentara sebagai bagian dari warga bangsa yang bebas menentukan pilihannnya.
TNI juga, secara otomatis, sudah tahu diri dan tidak akan gegabah untuk masuk ke wilayah politik praktis. TNI saat ini telah “ditempatkan” oleh kekuatan sipil, sebagai perwujudan agenda reformasi, pada posisi yang berada di luar gelanggang politik. TNI telah kembali pada “khittahnya” sebagai abdi negara guna menjaga stabilitas keamanan wilayah nusantara. Posisi yang tepat untuk TNI sesuai hakikat sejati tugas funsionalnya.
Masyarakat, tidak perlu khawatir terhadap keikutsertaan TNI pada setiap pemilu. Karena, anggota TNI hanya partisipan bukan dalam kapasitas kelembagaan. Rasanya, tidak mungkin pula mendirikan partai politik berbasis tentara (aktif). Anggota tentara akan memberikan hak suaranya pada partai-partai sipil yang telah ada. Kabar bagusnya, mereka dijamin hanya memilih, tidak akan mengikuti kampanye-kampanye partai.

Kekhawatiran
Apa pun alasan yang dikemukakan oleh TNI, sejumlah kekhawatiran masih tetap menyeruak ke permukaan. Masyarakat, mengutip pernyataan Yuddy Crisnandi dari Fraksi Golongan Karya, masih traumatik ketika lebih dari 30 tahun TNI dikooptasi menjadi alat politik penguasa yang menjadikannya tidak profesional (Kompas, 16/2).
Dwifungsi TNI (dulu ABRI) adalah gambaran nyata betapa TNI saat itu “berkesempatan” menikmati jatah politik sebagai imbalan atas jasanya memenangkan partai politik tertentu. Seiring gelombang reformasi yang menggelora di awal 1998-an, dwifungsi TNI dipersoalkan. Amanat reformasi menuntut agar dwifungsi itu dihilangkan guna mengembalikan tentara pada posnya yang hakiki.
Kekhawatiran lain, dengan hak memilih dan dipilih yang diberikan kepada anggota TNI, justru akan membuat TNI terpecah belah dalam blok-blok politik tertentu. Hal ini, tentu saja, cukup berbahaya dan harus dihindari. Iklim demokrasi dalam berpolitik selalu menyuguhkan persaingan yang menentukan. Jika anggota tentara, kemudian dilibatkan dalam iklim semacam itu, tentu cukup riskan.
Kekhawatiran yang juga muncul adalah adanya motif “terselubung” anggota tentara, yang secara diam-diam, ingin kembali ke pentas politik dan menguasainya. Bisa jadi, mereka memilih adalah agenda awal untuk itu. Sederhana memang, tetapi, secara rasional, hal itu dapat dipahami.
Anggota tentara tentu saja akan “digiring” untuk memilih tentara (yang purnawirawan). Kesuksesan seorang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, tentu menggambarkan adanya “harapan” tinggi tentara menguasai dan mengendalikan kekuatan-kekuatan politik sipil.

Pengaturan ketat
Pada hemat penulis, alasan TNI untuk mengikuti pemilu dapat diterima. Alam demokrasi memang demikian adanya. Tetapi, TNI juga mesti menjelaskan kepada publik bahwa anggota-anggotanya yang mengikuti pemilu hanya karena alasan itu, bukan lainnya. TNI juga harus memastikan bahwa tugas profesinya bukanlah untuk masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tetapi justru menjaga, memelihara, dan melindungi proses politik yang sedang berlangsung.
Karena itu, dibutuhkan pengaturan-pengaturan tertentu untuk mencegah tentara memasuki wilayah elit politik praktis. Larangan kepada anggota TNI untuk tidak mengikuti pawai atau kampanye partai-partai politik, tentu salah satu langkah yang cukup tepat. TNI harus memastikan bahwa anggotanya datang ke tempat pemilu hanya untuk memberikan suaranya, karena itu haknya.
Pemerintah dan anggota dewan, dengan demikian, jika wacana ini mulus dan diterima, harus membuat pengaturan-pengaturan yang ketat. Terlebih, di tubuh TNI sendiri sebagai institusi tinggi mereka sebagai wujud komitmennya untuk tetap pada khittahnya semula. Jika ini berhasil dilakukan, persoalan anggota TNI mengikuti pemilu tentunya tidak perlu dirisaukan. Dalam sistem politik yang ada, seiring semakin meningkatnya kinerja kekuatan-kekuatan politik sipil di dewan perwakilan, persoalan biasa dalam berdemokrasi mesti diantisipasi secara tidak berlebihan. Tentara (hanya) memilih, why not?

Media Indonesia, Senin 20 Februari 2006

Tidak ada komentar: