Selasa, 21 Agustus 2007

Soeharto dan Pelajaran buat SBY

Tanggal 21 Mei lalu tepat 9 tahun runtuhnya rezim Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto oleh aktor-aktor reformis. Sebuah tragedi buat Soeharto dan kroni-kroninya, tetapi menjadi semacam renaisans dan babak baru panggung pagelaran bangsa Indonesia menuju impian yang sebelumnya hanya milik dan dalam kontrol Soeharto.

Jatuhnya Soeharto
Soeharto, harus diakui, adalah sosok politikus luar biasa yang mungkin sulit ditandingi oleh para politikus kita saat ini. Kekuasaan yang didudukinya selama itu menjadi bukti kuat betapa dirinya benar-benar layaknya seorang kaisar yang hampir memerintah negara ini sampai ajalnya tiba kalau saja sejarah masih berpihak padanya. Sayangnya, dogma sejarah yang menyatakan bahwa ia seperti roda pedati, kadang di atas dan kadang di bawah, betul-betul membuktikan kebenarannya. Di ujung senja Soeharto, serapuh usianya, modal politiknya kian tergerus di makan sejarah.
Dalam buku The Fall of Soeharto (1999) yang ditulis oleh para pengamat Indonesia dari Australia, seperti: Hall Hill, Jamie Mackie, dan Richard Robinson, Harold Crouch, R.J. May, Geoff Forrester, dan lain-lain, disebutkan beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya Soeharto.
Pertama, semakin memburuknya situsi ekonomi saat itu. Berdasarkan analisis Hall Hill, munculnya krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi sejak Juli 1997 merupakan persoalan signifikan yang menyebabkan jatuhnya Soeharto.
Kedua, setelah terpilih sebagai presiden untuk yang ketujuh kalinya, Soeharto justru menunjukkan sikap yang sulit dimengerti (erratic). Pengangkatan anggota Kabinet pembangunan Ketujuh adalah contohnya. Ketika masyarakat mendesak diberantasnya korupsi, ia justru memilih orang-orang yang dinilai masyarakat paling “tercemar” skandal KKN, seperti Mohammad ‘Bob’ Hassan.
Ketiga, tekanan dari para mahasiswa. Terus memburuknya situasi ekonomi dan ketidakpedulian Soeharto akan aspirasi serta tuntutan reformasi telah membuat mahasiswa semakin gencar melakukan demonstrasi. Ketika akhirnya Soeharto tetap menerima pencalonan dan kemudian terpilih kembali, mahasiswa tak henti turun ke jalan, hingga menduduki gedung DPR/MPR selama beberapa hari.
Keempat, tekanan dari tokoh-tokoh oposisi, seperti Amien Rais, Megawati, dan Abdurrahman Wahid pun nyaring menyuarakan tuntutan reformasi. Walaupun dinilai gagal menyatukan diri untuk membentuk suatu people power, namun ketiga pemimpin tersebut bersama-sama para pengikutnya telah memberi tekanan tersendiri bagi Soeharto untuk mundur.
Kelima, terjadi perpecahan di tubuh tentara (ABRI). Pada bulan Maret 1998, Soeharto membentuk dua basis kekuatan seimbang yang diciptakan sedemikian rupa sehingga salah satu atau dua kubu tersebut tidak mengancam dirinya. Salah satu kekuatan adalah di tangan Jenderal Wiranto, yang dianggap sangat loyal terhadap Soeharto, sebagai komandan tertinggi ABRI dan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Basis kekuatan yang kedua adalah diangkatnya Letnan Jenderal Prabowo Subianto, anak menantunya, sebagai komandan Kostrad.

Pelajaran buat SBY
Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah dua pemimpin yang lahir dari proses dan situasi yang berbeda. SBY lahir sebagai penguasa melalui demokrasi terbuka yang melibatkan rakyat secara langsung. Sementara, Soeharto lahir setelah sebelumnya secara kurang fair mempecundangi Soekarno yang waktu itu memang tengah terjepit oleh tekanan tentara karena terlalu pro komunis.
Memanfaatkan celah itu, Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar 1966) yang hakikatnya bersifat sementara dan harus dikembalikan lagi, ternyata dijadikan senjata penohok guna menjatuhkan Soekarno, sekaligus merenggut kekuasaannya.
Meski sama-sama tokoh militer, Soeharto dan SBY mencipta sejarah yang berbeda. Soeharto mencipta sejarahnya menjadi autoritarian yang menjadikan Pancasila sesuai dengan apa yang dipikirkannya (reduksinya) melalui penafsiran pengukuh rezim bernama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Sedangkan SBY, mencipta sejarahnya sebagai penerus dan penjaga reformasi menuju terciptanya demokrasi sejati. Tidak mudah bagi SBY memang untuk mengonstruk kembali demokrasi impian rakyat. Butuh waktu yang tidak sebentar, apalagi ideologi politik (mindset) yang ditanamkan oleh Soeharto masih melekat kuat pada sebagian besar elit dan politisi kita.
Soeharto adalah pelajaran penting buat SBY. Jika krisis ekonomi—meskipun bentuknya berbeda (tidak separah masa Soeharto)—masih belum teratasi yang terbuktikan dengan masih terlihatnya kondisi rakyat yang menderita dan kian miskin, pengangguran meningkat.
Masalah bertambah pelik lantaran terjadi pemilihan para menteri yang tidak kapabel sesuai dengan kemampuan, tekanan tokoh-tokoh oposisi yang terus-menerus mengkritik akibat performa, kerja, dan kinerja SBY yang terlalu lembek, tidak tegas, dan kurang berani.
Masalah-masalah tersebut, ditambah kurang terperhatikannya kesejahteraan tentara akibat lebih serius dan berkonsentrasi mempertahankan kekuasaan dan demi mendulang kekuasaan lagi pada pemilu 2009, memungkinkan tragedi seperti dialami Soeharto terulang, meski cuma dalam bentuk jatuhnya tingkat kepercayaan rakyat pada SBY. Itulah sebabnya, SBY harus lebih serius dan kongkret lagi memperbaiki kondisi bangsa yang masih terpuruk ini.

Duta Masyarakat, Kamis 31 Mei 2007

Tidak ada komentar: