Selasa, 21 Agustus 2007

Tiga Sebab Kemandekan Fikih

Hingga kini, sebagian besar umat Islam masih meyakini bahwa fikih yang dihasilkan ulama-ulama masa keemasan Islam bisa menyelesaikan berbagai persoalan kekinian. Namun, fikih sebagai produk intelektual pada masa dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi stagnan serta kaku. Sebenarnya hakikat fikih bukan mengajarkan kekakuan, tapi pelaksana fikih itu yang menganggapnya demikian.
Menurut saya, ada tiga penyebab mengerasnya kecenderungan mempertahankan produk fikih klasik tersebut sampai kini. Pertama, fikih diidentikkan dengan syariat. Padahal, dari sisi kebahasaan saja, fikih yang berarti “paham” sangat berbeda dari syariat yang berarti “jalan.” Perbedaan itu berlanjut pada dataran istilah. Abdul Wahhab Khallaf dalam Ilmu Usul Fikih mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang praktis yang diambilkan dari dalil-dalilnya secara rinci.
Dalam hal ini, fikih dimaknai sebatas pengetahuan mengenai syariat dan keduanya tidak identik. Terdapat pembedaan yang tajam antara pengetahuan soal syariat dan hukum syariat itu. Fikih akhirnya memiliki ranah yang berbeda dari ranah syariat. Syariat sejatinya adalah ajaran-ajaran ilahi yang universal dan ditujukan untuk kemaslahatan seluruh manusia. Syariat dalam pengertian seperti itu tidak bersifat diskriminatif pada kelompok atau inidividu tertentu.
Sebagai sebuah “jalan,” syariat ibarat rambu-rambu yang mengontrol pengguna jalan agar selamat sampai tujuan. Berbeda dari fikih sebagai pemahaman mengenai “jalan” itu. Jalannya satu. Tapi, karena setiap orang tidak tahu persis jalan sebenarnya, mereka lalu mendeteksi jalan tersebut dengan sudut pandang masing-masing, sehingga muncullah keragaman jalan. Karena itu, dalam ruang lingkup pemahaman (fikih), tidak ada yang memiliki autoritas tertinggi, sehingga bisa menyalahkan pemahaman lain dan mengklaim pandangannya sendiri adalah yang paling benar.
Fikih selalu memberikan ruang yang luas bagi pemaknaan lain mengenai sebuah “jalan” tersebut. Karena itu, dalam sejarah pertumbuhan fikih, perbedaan pendapat antara ulama yang satu dan lainnya bukan merupakan hal baru. Perbedaan antara Imam Syafii sebagai guru dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai murid tidak berdampak apa-apa bagi hubungan keduanya. Tidak ada yang mengklaim kebenaran berada di pihak mereka saja.
Persoalan kedua menyangkut asumsi tentang sakralitas fikih. Ketika fikih diidentikkan dengan syariat, konsekuensinya, ia akan dianggap sakral. Umat memandang fikih sebagai barang yang sakral karena diambil dari dalil-dalil Alquran dan hadis. Dengan pandangan ini, mengubah fikih dipahami sebagai tindakan mengubah syariat yang sakral.
Pandangan tersebut diperkuat hadis yang dipahami secara keliru, “Barangsiapa yang membuat hal-hal yang baru dalam masalah agama, maka dia tertolak.” Atau, hadis yang menyatakan, “Sebaik-baik petunjuk adalah Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya. Dan, seburuk-buruknya adalah bidah (inovasi), karena setiap bidah adalah sesat.”
Tidak ada yang keliru pada kedua sabda Rasulullah itu. Tapi, pemahaman yang kurang tepat merintangi kedinamisan serta keterbukaan fikih. Betul bahwa syariat pada hakikatnya adalah sakral dan absolut. Karena itu, mengubah syariat adalah terlarang. Karena syariat bersifat absolut dan mutlak, ia adalah universal, bisa berlaku di segala tempat dan keadaan. Berbeda dari fikih, ia terbatasi konteks penafsir dan berlaku dalam kurun serta tempat tertentu.
Persoalan ketiga adalah tentang hegemoni kalangan konservatif yang sudah lama bercokol, sehingga dianggap memiliki autoritas tertinggi dalam menentukan hukum-hukum agama. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kalangan yang dianggap memiliki autoritas itu telah menjadi institusi nasional yang mendapatkan legalitas negara.
Setiap saat mereka siap dimintai fatwa atau memfatwakan hukum yang bisa jadi berlaku pada skala nasional. Pendek kata, fikih telah menjadi institusi di bawah kendali pemerintah yang setiap saat potensial diundang-undangkan. Karena itu, tidak mengherankan, menguatnya suara-suara yang menuntut ditegakkannya syariat Islam (juga) ditopang keberadaan institusi legal tersebut.
Mereka yang menuntut syariat menjadi undang-undang negara biasanya berangkat dari asumsi bahwa syariat adalah sakral -karena berasal dari Tuhan-, sehingga harus diundangkan untuk mengikat seluruh umat. Namun, itu sungguh keliru. Sebab, mereka sebetulnya menyuarakan fikih yang dianggapnya sebagai syariat.
Misalnya, mengenai hukum potong tangan, mereka menganggapnya sebagai syariat. Padahal, itu hanyalah sebuah produk fikih. Syariat atau hal yang menjadi substansi ajaran potong tangan, yaitu larangan merugikan orang lain secara sengaja, sama sekali tidak disinggung. Ia hanya disinggung dalam dataran hikmah hukum.
Akibatnya, paham sakralitas dan autoritas hampir selalu mewarnai kemandekan fikih dalam menyikapi realitas kekinian. Dari situlah muncul “kelas khusus” yang seakan mempunyai hak eksklusif dalam menafsirkan ajaran agama. Itulah persoalan mendasar fikih.
Padahal, konteks hukum yang selalu berubah dan perkembangan zaman yang menuntut partisipasi fikih merupakan fenomena yang tak terbantahkan. Pergantian dan perubahan dari satu hukum ke hukum lain menjadi hal yang mesti terjadi. Dalam ilmu fikih dikenal istilah nasikh dan mansukh, yaitu dalil hukum yang meralat dan diralat.
Dalam penafsiran teks agama, doktrin tersebut sungguh sangat urgen karena memungkinkan kita menjawab persoalan baru yang datang silih berganti. Evolusi pelarangan khamar dari status bisa ditoleransi hingga dilarang total merupakan indikasi bahwa hukum bersifat dinamis.
Hukum muncul seiring alasan dan argumentasi logis yang dikenakan pada objeknya. Dalam bahasa fikih, hal tersebut disebut illat, yaitu alasan mendasar ada-tiadanya hukum. Karena itu, hukum bukan merupakan sesuatu yang sakral, tapi bisa saja berubah sesuai illat-illat-nya.
Bertolak dari situ, sudah saatnya fikih ditempatkan dalam tataran wacana agama. Berkembang dan mandeknya produk fikih akan sangat bergantung pada pemaknaan tiap individu mengenai apa itu fikih. Sejatinya, fikih memang harus selalu memberikan berbagai alternatif pandangan demi tujuan kemanusiaan yang lebih relevan serta bermaslahat.
Sementara itu, asumsi tentang sakralisasi fikih dan terkungkungnya autoritas penafsiran syariat pada individu tertentu tidak akan mampu menjawab persoalan umat manusia yang kian kompleks. Wallâh a‘lam.

Indo Pos, Minggu 7 Maret 2004 dan Islamlib.com, Senin 8 Maret 2004

Tidak ada komentar: