Sabtu, 18 Agustus 2007

Problem Penalaran Humanisasi Agama

Jargon “agama bernalar manusiawi,” seperti yang banyak diusung oleh para pemikir mazhab humanisme, secara garis besar, hemat penulis masih menyisakan persoalan serius. Menurut pandangan humanisme, agama hingga saat ini yang masih cenderung didominasi oleh penafsiran model teo-sentrime, belum menyentuh pada persoalan ril sosial masyarakat, oleh karenanya, banyak disaksikan fenomena “agama ritualistik an sich,” “agama yes, korupsi yes,” atau “agama haji dan umrah.”
Menurut mazhab humanisme, agama sudah seharusnya tidak diperlakukan demikian. Ia sudah saatnya ditarik ke dalam ranah sosial. Mau tidak mau, model penafsirannya pun mesti diubah dengan bentuk lain. Agama, walaupun diturunkan Tuhan, tapi ia sejatinya adalah untuk umat manusia.
Dan, karena itu, nalar yang digunakan mestilah berangkat dari nalar kemanusiaan. Manusia menjadi ukuran dalam setiap penafsiran, karena mustahil agama—yang notabenenya untuk manusia—harus dikembalikan pada sang “Penurun” agama itu lagi. Lantas buat apa agama diturunkan, kalau ukurannya ukuran Tuhan an sich, dengan melepaskan akar persoalan kemanusiaan itu sendiri.
Gagasan di atas, di kalangan pemikir Muslim, secara serius coba dielaborasi ke permukaan. Misalnya, Mahmud Muhammad ‘Imarah dalam Hal al-Islam huwa al-Hall; Kayfa wa Limâdzâ. Beliau menulis, bahwa Islam adalah ajaran yang bersumber dari Tuhan, dan berorientasi kemanusiaan.
Artinya, Islam adalah agama yang tidak melulu berbicara tentang Tuhan, tapi ia mesti didudukkan dalam konteks tujuannya, yaitu membawa dan menjunjung tinggi derajat kemanusiaan. Dengan demikian, agama tidak lagi dalam arena ketuhanan, tapi sudah membumi dengan manusia itu sendiri. Konsekuensinya, agama bukan lagi ladang penafsiran teo-sentris, tapi beralih ke anthropo-sentris.
Artinya, manusialah saat ini yang menjadi subjek penafsir aktif terhadap ajaran agama dalam dan untuk ranah sosial. Ini berarti juga bahwa agama adalah daya hidup, yang selalu memompa denyut nadi kehidupan umat manusia. Agama adalah gerak aktif di setiap relung-relung kehidupan sosial penganutnya. Agama menjadi motor penggerak hidup yang memformat segi-segi perilaku umat manusia.
Namun, jalan tidak semulus yang diimpikan. Persoalan serius baru justru akan muncul di sini. Bermula dari soal ketika manusia mulai merambah ajaran Tuhan ini. Dalam hal ini, setidaknya akan lahir dua cara pandang dalam memahami agama. Pertama, cara pandang tekstualis formalis. Dan, kedua, cara pandang kontekstualis substansialis.
Cara pandang pertama lebih menitikberatkan pemahaman pada aspek lahiriah ajaran, tanpa perlu tahu bagaimana latar belakang dan setting kondisi objektif lingkungan di mana ajaran itu bermula. Agama adalah cetak biru dan hitam putih yang sudah Tuhan, melalui para Rasul-Nya, tetapkan dalam kitab suci-Nya. Apa yang tertulis, itulah yang mesti dilakukan, meskipun konteksnya sudah jauh berbeda.
Penafsiran ini biasanya lahir karena menganggap bahwa manusia adalah makhluk lemah, dalam segala segi, termasuk lemah nalar, untuk dapat memahami rahasia-rahasia di setiap ajaran. Karena itu, manusia tidak perlu bertanya, apalagi menggugat ajaran Tuhan. Manusia didoktrin untuk patuh dan yakin bahwa ajaran Tuhan pasti mengandung maslahat.
Cara pandang model ini cukup berisiko, soalnya, orang kemudian lebih melihat hasil penafsiran elit agamawan yang sudah mapan terbentuk sejak generasi pertama penerima ajaran agama. Akhirnya, yang terjadi kemudian adalah taklid buta, dan beragama tetapi tidak kritis, membatu, rigid, dan berujung pada doktrinisasi ajaran. Agama lantas hanyalah seonggok dogma-dogma yang diapresiasikan dalam altar-altar ritual, atau tempat-tempat ibadah semata, pada saat yang sama, agama sama sekali tidak menyentuh ruang lingkup sosial.
Cara pandang model kedua oleh banyak kalangan pemikir modern bisa menjadi dasar pijakan dalam memahami agama lebih kritis, terbuka, dan progresif. Agama akan selalu relevan dengan perkembangan umat manusia, dan karena itu akan makin diyakini oleh pengikutnya sebagai jalan keselamatan hakiki.
Selain itu, melalui pijakan dasar model ini, agama akan dengan mudah menemukan elan vitalnya dalam setiap gerak kehidupan umat manusia di mana pun dan kapan pun. Agama akan dibaca dan dipraktikkan dengan lebih elastis, tanpa kehilangan ruhnya yang terdalam, yaitu nilai-nilai ketuhanan yang ingin diraih. Ini dimungkinkan karena cara pandang ini meniscayakan peran sejarah dalam memahami ajaran.
Bagaimanapun, ajaran agama tidak turun dalam ruang yang hampa. Ia pasti memiliki sebab-sebab atau latar belakang tertentu yang membuat sebuah ajaran mesti turun meresponsnya. Mustahil ajaran Tuhan ditujukan kepada dunia tanpa manusia, karena itu akan sia-sia, dan jelas-jelas melenceng dari tujuan diturunkannya agama untuk manusia.
Melalui cara pandang kedua ini, manusia mampu membaca realitas kala agama pertama kali muncul, lantas menerjemahkan semangat agama itu dalam konteks kekinian. Dengan demikian, agama akan menemukan tempatnya yang layak sebagai ajaran yang “baik untuk segala waktu dan tempat.” Dengan cara pandang kedua ini pula, agama kemudian akan mampu memberikan sumbangsih positif bagi manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
***
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah nalar manusia sudah cukup mampu untuk menggapai makna terdalam agama, ketika agama harus tunduk (baca: ditundukkan) pada sisi-sisi kemanusiaan dan penafsiran yang manusiawi semata? Jawaban yang paling memungkinkan adalah bisa, tapi tidak sempurna betul. Karena itu dibutuhkan proses pendalaman yang teramat sangat, dan pembacaan yang kritis, juga proses dialogis antar pembaca teks agama dengan konteks teks, konteks pembaca sendiri, juga teks itu sendiri.
Agama diyakini sebagai wahyu Tuhan, bukan produk manusia, meskipun manusia itu sendiri yang akhirnya menerjemahkannya dalam kehidupan, bukan Tuhan sendiri yang menyampaikan secara langsung. Oleh karenanya, agama sejati sebetulnya ada pada wilayah Tuhan.
Manusia hanya diamanati untuk melakukan apa yang mereka pahami dari agama Tuhan disesuaikan dengan konteks yang dihadapi. Upaya tafsir atas agama akan bernilai maslahat jika tidak membuang satu dari dua dimensi tersebut; dimensi ketuhanan di satu sisi, dan dimensi kemanusiaan di sisi yang lainnya.
Agama ibarat tali yang menghubungkan Tuhan dengan manusia. Ketika penalaran agama hanya bersandar pada pola pikir anthropo-sentris atau teo-sentris belaka, maka tali itu menjadi terputus. “Meninggalkan” Tuhan dalam penalaran agama, justru akan melahirkan sosok-sosok manusia materialistis yang hampa spiritual.
Begitu pula jika sisi kemanusiaan yang tidak diakomodasi, malah ditinggalkan, yang terjadi adalah munculnya manusia-manusia pasif, permisif, dan tidak apresiatif, seperti barang mati yang tampak hidup, tapi hakikatnya mati dan tidak berguna sama sekali.
Konsekuensi logis yang bisa terjadi kemudian, bisa cukup luar biasa parahnya. Agama ketika sebatas pemaknaan lahiriah, hanya akan melahirkan umat beragama yang menjalankan agamanya dengan terpaksa tak terhayati.
Pun demikian jika yang menjadi sentra penafsiran adalah manusia semata, maka agama akan mudah dipolitisasi dan diplintir sesuai dengan kemauan nafsunya, juga kepentingan jangka pendeknya semata. Agama kemudian ditempatkan pada porsinya sebagai alat legalisasi terhadap segala macam tindakan lalim penguasa politik.
Agama sejatinya selalu menuntut peran aktif orang-orang yang jujur, kritis dan memiliki orientasi progresif atau beranjak pada sisi kemanusiaan, dengan tetap bertalian erat pada tali-tali yang menghubungkannya dengan dimensi ketuhanan. Dengan demikian, agama akan menemukan elan vital-nya, dan dapat menjadi alat efektif untuk menyelesaikan segala problematika kemanusiaan yang kini seakan pudar karena terkubur dalam dogma-dogma semu agama hasil politisasi, atau agama penguasa yang cenderung lalim.
Penulis tetap yakin, bahwa segala penafsiran, apa pun bentuk dan modelnya, sifatnya adalah subjektif. Karena subjektif, maka ia menjadi relatif, dalam pengertian bahwa ia masih dapat dikritisi lebih lanjut dalam meja dialog.
Dalam tataran inilah seharusnya manusia memiliki peran dan fungsi yang sama besarnya guna menerjemahkan semangat agama dengan nuansa kemanusiaan universal pararel dengan nuansa ketuhanan. Maka, tujuan sejati agama akan kita dapatkan secara memuaskan. Wallâh a‘lam

Duta Masyarakat, Jumat 8 Juli 2005

Tidak ada komentar: