Sabtu, 18 Agustus 2007

Palestina Pasca Kemenangan Hamas

Pemilu Palestina yang diadakan pada akhir Januari kemarin menghadirkan sebuah perubahan peta politik dalam negeri yang cukup penting sekaligus membuat suhu politik luar negeri menghangat (hubungan Palestina-Israel). Bagaimana tidak, Hamas, salah satu gerakan perjuangan yang berideologi garis keras radikal menguasai lebih dari 73 kursi di parlemen dari 143 kursi yang tersedia. Artinya, Hamas mayoritas telah menguasai parlemen.
Kemenangan Hamas sebelumnya terhitung cukup mengejutkan. Pasalnya, Fatah, partai warisan mendiang Presiden Yassir Arafat, diduga masih terlalu tangguh untuk dikalahkan oleh partai manapun. Karena, selain sang Perdana Menteri Ahmed Qurei dan sang Presiden Mahmoud Abbas yang “jebolah” Fatah, juga ideologi moderat Fatah yang membuat proses perdamaian antara Palestina dan Israel hingga saat ini telah mengalami sedikit kemajuan walau belum memuaskan sebagian besar rakyat Palestina.
Kemenangan Hamas telah membelalakkan mata semua orang bahwa rakyat Palestina, jika melihat realitas politik saat ini, sudah “kehilangan kepercayaan” pada pemerintahan sekarang. Pemerintah dinilai terlalu lambat dan cenderung “terdikte” Israel, sama halnya dengan saat Palestina berada dalam kendali Yassir Arafat. Apa pun itu, rakyat Palestina telah memilih apa yang menjadi harapan mereka untuk masa depan Palestina yang lebih baik.
Pertanyaan yang selalu menggelitik, tentunya, adalah bagaimana konstelasi politik Palestina selanjutnya pasca kemenangan Hamas terkait dengan kebijakan dalam negeri dan luar negeri, terutama kelanjutan jalan damai dengan Israel yang, untuk ke sekian kalinya, telah dirintis?
Sinyalemen perubahan politik Palestina ke depan, sebagai bagian dari proses lanjutan kemenangan Hamas, sangat dipengaruhi oleh bagaimana Hamas membuat kebijakan-kebijakan penting di parlemen. Masih terlalu dini, rasanya, menyatakan bahwa Palestina-Israel akan kembali membara akibat konflik yang terus “disuarakan” oleh Palestina dan apalagi lantas “diamini” oleh Israel jika partai garis keras Likud pimpinan Benjamin Netanyahu juga memenangi pemilu di Israel pada akhir Februari ini.
Pada hemat penulis, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Keadaan akan jauh membaik dan sebaliknya justru semakin memburuk. Semua itu sangat bergantung pada perubahan politik di masing-masing pihak. Palestina di satu sisi dan Israel di sisi yang lain.
Keadaan akan membaik jika autoritas parlemen Palestina melakukan perubahan signifikan dalam wacana politiknya. Hamas, rasanya, tidak akan mengelak terhadap tuntutan rakyatnya agar membuat kebijakan politik yang membuat suasana lebih baik dibanding sebelumnya. Dukungan kuat warga terhadap Hamas, harus diakui, lebih banyak karena pertimbangan kekecewaan terhadap pemerintahan saat ini. Bukan dukungan pada ideologi garis keras Hamas. Karena jika itu yang jadi pertimbangan, tentu saja harapan Palestina akan sia-sia.
Dengan arti lain, kemenangan Hamas saat ini adalah gambaran kekecewaan yang memuncak warga terhadap kondisi yang masih belum membaik. Akhirnya, mereka mengalihkan dukungan pada “sesuatu” yang dianggap memiliki sikap tegas memperjuangkan kepentingan Palestina ke depan. Walau pilihan itu jatuh pada partai yang hingga saat ini dicap sebagai partai garis keras radikal, bahkan teroris oleh AS dan Barat.
Di sisi yang lain, dengan dukungan penuh rakyat, Hamas juga akan sulit untuk tetap memperjuangkan “kekerasan” atas proses perdamaian yang sedang dijalani akibat tuntutan warga yang “anti kekerasan.” Hamas tidak akan gegabah mengorbankan lebih banyak lagi warga Palestina untuk mengangkat senjata melawan pendudukan Israel atas wilayah-wilayah yang telah menjadi milik Palestina. Karena, jika itu yang dilakukan, justru akan membuat rakyat kecewa berat. Harapan akan kehidupan yang lebih baik hanya berbuah isapan jempol.
Kondisi memburuk lebih parah lagi akan tercipta jika Hamas masih tetap mengusung ideologi garis kerasnya di parlemen tanpa peduli dengan korban berjatuhan di pihak Palestina. Di sisi yang lain, Israel juga tetap dengan sikapnya untuk tidak pernah mau bekerjasama dengan Palestina jika Hamas yang menjalankan roda pemerintahan, seperti yang dikemukakan oleh Menlunya, Tzipi Livni. Sementara itu, di luar arena, pihak AS dan Barat, semakin larut dalam wacana “garis keras” di kedua kubu dengan memberikan porsi dukungan yang “lebih” pada Israel, bukan pada jalan perundingan damai yang saat ini sedang berjalan.
Akhirnya, jawaban atas semua pertanyaan itu amat bergantung pada perubahan politik mendasar di masing-masing pihak, walau harus “menyisihkan” terlebih dulu ideologinya masing-masing. Juga, peranan pihak “penengah” yang lebih adil dengan tetap mengutamakan agenda damai di bagian kecil wilayah Timur Tengah yang sudah lama dirundung konflik tak berkesudahan. Dunia tentunya berharap konflik akan segera berakhir damai, selamanya, apa pun caranya.

Duta Masyarakat, Sabtu 11 Februari 2006

Tidak ada komentar: